Wednesday, March 21, 2018

Before You Giving Up...

“There’s always time for everything.”

Menjelang tenggat waktu yang sudah saya tetapkan untuk penyerahan naskah buku saya ke penerbit, mendadak bermunculan berbagai ‘tantangan’. Salah satu kontributor yang berdomisili di Papua harus mengalami masalah dengan koneksi internet yang mati se-pulau (atau se-kota gitu, lupa); kedua editor saya jatuh sakit; mbak ilustrator mengumumkan di Instagram bahwa HP-nya rusak; dan mas-mas yang sedianya akan membantu tata letak naskah putus dari pacarnya (thing is, pacarnya adalah teman saya – sehingga ia pun mundur dari proyek ini). Saya bahkan sudah tak sanggup untuk menangis, yang ada di pikiran hanyalah, “udah ah, aku mau nyerah aja.”

Menerbitkan buku adalah impian saya yang paling, paling, dan paling. Sayangnya, saya belum punya kemewahan untuk semata mengejar impian ini. Saya masih harus bekerja di kantor, menjalankan proyek pribadi lainnya; dan terus mencari tambahan penghasilan. Saya baru leluasa mengerjakan naskah pada akhir pekan. Pilihan lainnya, setiap hari saya harus bangun pagi-pagi sekali atau tidur larut malam. Rasanya seperti mengulangi masa-masa penulisan tesis, hehehe. Maka wajar jika sejak akhir tahun lalu, saya seolah-olah kelelahan terus-menerus. Pun, saya tahu tidak akan istirahat dalam waktu dekat karena harus melakukan rangkaian promosi buku hingga benar-benar ada yang beli. Makanya, please ikut pre-order buku saya pada akhir April ya, supaya seenggaknya saya bisa tidur lebih nyenyak. :))

Ngobrolin promosi buku, barusan saya lihat post Alanda Kariza


Pada kolom caption, ia menuliskan:

Foto bareng @christinego__, kawan baik saya yang menetap di Bali. Christine adalah salah satu dari tiga orang yang hadir di acara #SophismataBookTour edisi Denpasar, Bali

Saya cukup bersemangat untuk kembali ke Indonesia karena *akhirnya* bisa mempromosikan novel ini secara langsung lagi, setelah kemarin-kemarin hanya bisa melalui media sosial. Sejujurnya, fakta bahwa hari ini cuma dihadiri tiga orang cukup membuat terpukul, mengingat Denpasar bukan jarak yang dekat untuk ditempuh. Tapi, hari ini juga memberi peringatan pada saya bahwa masih ada ruang untuk perbaikan yang sangat besar — dalam menulis dan memasarkan karya tanpa mengurangi idealisme soal konten yang hendak saya produksi

Untuk bisa punya hati besar ketika hal seperti ini terjadi cukup sulit, apalagi ada masa di mana acara promosi buku terdahulu bisa menginjak 200 orang hadirin. God, thank you for the reminder. Perhaps we really just need to move forward and strive to be better each day. As startup gurus usually say: fail fast, fail often 😊

Terima kasih @christinego__ + @adityamau sudah hadir di hari ini 💖 Jadi tetap semangat untuk bicara di panggung! Untuk yang lain, mohon maaf jika kurang maksimal karena saya sedang demam.

#masihbelajar


I was like... what??? Sekelas Alanda Kariza lho, masa yang datang cuma TIGA orang??? Saya sendiri belum baca bukunya tapi cukup tahu kiprah Alanda di beberapa kegiatan yang ia inisiasi. Sebagaimana ia katakan di kolom komentar, pihak penerbit sudah melakukan sounding tapi mungkin terpengaruh dengan sistem algoritma Instagram yang baru (c’mon Instagram, you’re doing it so badly). Sehingga ya itu yang terjadi... Itupun satu orang merupakan teman dari Alanda, jadi praktisnya hanya ada dua orang yang datang. *pukpuk Alanda*

Sekitar dua minggu yang lalu, saya membaca novel Ika Natassa yang berjudul A Very Yuppy Wedding (AVYP), pinjam ke teman. Sebelumnya, saya memang baru membaca Critical Eleven dan The Architecture of Love. But to be honest, AVYP seperti ditulis oleh orang yang ‘baru belajar menulis’. At first, I couldn’t believe that Ika Natassa wrote that. Eh tapi ini menurut saya ya, it’s up to you if you have different opinion.

Yang mau saya garis bawahi dari kedua ‘kasus’ di atas adalah, setiap orang punya waktunya sendiri. Kalau Ika Natassa enggak pernah menulis AVYP, mungkin dia enggak akan pernah merasakan Critical Eleven dibuat film. Alanda Kariza mungkin sudah pernah sangat sukses dengan Indonesian Youth Conference. Sebelumnya dia juga sudah punya beberapa buku yang lain. Maka sangat mungkin di masa depan tiga orang akan menjadi tiga ratus atau tiga ribu.

Buku saya yang pertama ini, insya Allah bukan akan menjadi buku yang terakhir. Sungguh pun saya menanti feedback, apalagi kritik yang membangun, agar saya bisa menulis dengan lebih baik lagi. Syukur-syukur kalau one day bisa jadi seperti Alanda Kariza atau Ika Natassa.

Jujur saya sudah memikirkan buku berikutnya karena perjalanan buku pertama ini memberikan saya banyak sekali pelajaran. Salah satu yang terpenting adalah tentang kesabaran. Karena seperti telah saya sampaikan di atas, seberapa keras pun kita berusaha, apa yang sudah ditakdirkan untuk menjadi milik kita akan menjadi milik kita pada waktu yang tepat. Bukannya kemudian pasrah, karena saya pun terus berjuang agar buku saya bisa terbit pada waktu yang saya harapkan. TAPI jika misalnya ada suatu hal yang menjadi hambatan, dan itupun bukan dari internal diri saya, saya bisa apa?

Tentu tidak mudah untuk menuliskan hal ini, tapi kemudian saya teringat bahwa J.K. Rowling pun ditolak belasan penerbit sebelum akhirnya bisa menerbitkan Harry Potter yang fenomenal itu. So yeah, for you who is struggling in making your dream comes true, just keep believing that one day it will be yours!  

Lots of love,
Prima


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...