Thursday, February 22, 2018

Road to Success

Harus saya akui, yang membuat saya sangat tertekan beberapa waktu lalu adalah tekanan orangtua terhadap pencapaian saya. Mereka mengharapkan saya memiliki pekerjaan tetap, jabatan strategis, yang tentu berimplikasi terhadap penghasilan yang tinggi. Terlebih sesudah saya lulus S2, ekspektasi diri saya menjadi semakin meningkat. Teman-teman terdekat mengatakan sebenarnya kehidupan saya sudah cukup ‘sukses’, tetapi saya terlanjur menetapkan target yang teramat tinggi untuk diri saya sendiri. Saya pun sering membandingkan diri dengan orang lain, namun bukan seberapa kaya seseorang dibandingkan saya, melainkan lebih kepada kontribusi seseorang kepada lingkungannya. Saya sering merasa sangat ‘kecil’ dan belum membuat perubahan apa-apa untuk masyarakat luas, atau sederhananya belum membuat gebrakan agar kehidupan orang menjadi lebih baik.

Salah satu yang tampak dari usaha saya memenuhi pengharapan itu adalah pemahaman saya terhadap waktu. Terkadang saya menyesal jika satu hari terlewatkan begitu saja ‘tanpa berbuat apa-apa’, selain bekerja tentunya. Di sisi lain, orangtua saya bukan orang yang pandai menyampaikan apresiasi, sehingga saya menyibukkan diri pada bidang-bidang atau kelompok-kelompok yang sekiranya dapat menghargai saya. Makanya, pada masa awal depresi, saya merasa kelaparan terus-menerus. Kalau kata bos, saya ‘lapar’ penghargaan – tapi alhamdulillah, saya ‘mengenyangkan diri’ saya dengan tindakan positif.

Berhubung mental saya sedang lumayan ‘rawan’, saya pun berusaha menurunkan target tersebut sedikit demi sedikit. Saya juga banyak berbincang dengan teman-teman dan saudara; serta membaca buku biografi. Why biography? Karena di situ saya melihat perjalanan seseorang dari mulai ‘belum punya apa-apa’ hingga bisa menjadi seperti saat ini.
And you know what? There is no such thing called an instant success.

SEMUA ORANG, I repeat, SEMUA ORANG, mengalami masa-masa struggling financially; belum lagi kalau mereka juga masih mencari apa yang sesungguhnya ingin mereka lakukan (seperti saya). Salah satu sepupu saya yang berprofesi sebagai dokter gigi bercerita, sesudah menyandang gelar, ia tak butuh waktu lama untuk membuka praktik di sebuah rumah sakit. Pada bulan pertama dan kedua, ia tidak mendapatkan pasien satu pun. Alhamdulillah, pada bulan ketiga, ia mulai mendapatkan pasien: satu orang. Meskipun begitu, ia tetap datang ke rumah sakit setiap hari meskipun belum tentu ada pasien (dan pada masa itu ia sebenarnya bisa on call). Tahun berganti tahun, sekarang pasien sudah cukup mengenalnya dan jadwal praktiknya hampir selalu ramai.

Kedua teman saya yang lain, yang menurut saya sudah lumayan ‘enak hidupnya’, juga mengalami perjuangan tersendiri. 6-7 tahun yang lalu, mereka harus naik-turun angkot menuju kantor (karena belum ada GoJek). Berangkat pagi buta, sampai rumah paling cepat jam sembilan malam, begitu terus sampai akhir pekan. Sebagai ‘anak bawang’, mereka harus mau melakukan apapun yang diminta oleh atasan, tak peduli mereka tidak menikmati pekerjaan itu. Someone has to work to pay the bills. Beberapa tahun kemudian, posisi mereka sudah cukup senior sehingga bisa mendelegasikan tugas-tugas kepada bawahan.

Saya pun bercermin pada pengalaman hidup saya, yang sepertinya ‘enggak jelek-jelek amat’. Saat orang lain masih bingung mencari kerja, saya sudah punya pekerjaan dan beberapa proyek pribadi (yang mungkin saat ini belum menghasilkan uang, but who knows?). Banyak orang iri dengan pekerjaan saya yang bisa dikerjakan di rumah, dan walaupun saya pegawai kontrak, alhamdulillah saya sudah mendapatkan pekerjaan lain selepas kontrak dengan perusahaan ini berakhir. And guess what? InsyaAllah saya akan bekerja di..... B a l i! Woohoo.

Mungkin bagi saya ‘masalahnya’ adalah, back in 2014, saat saya seharusnya diangkat menjadi manajer, saya justru resign dan mengikuti World Muslimah Award; yang ternyata oh ternyata merupakan sebuah ajang yang gagal karena sampai hari ini pun saya belum menerima hadiah saya dan tidak ada kelanjutannya. Jika saja manusia boleh berandai-andai, sekiranya saya tetap bekerja di kantor tersebut, barangkali saya sudah bisa keluar negeri setiap tiga atau empat bulan sekali. FYI, gaji+bonus saya waktu itu hampir sama dengan gaji saya sekarang, bahkan bisa lebih tinggi kalau lagi banyak klien.

Nyesel sih enggak, tapi kadang suka nyesek mikirin itu. Hahahahaha. Di sisi lain, life keeps surprising me dan target saya yang lain yaitu selesai S2 maksimal 5 tahun sesudah S1 sudah tercapai (terlambat satu tahun sih, tapi lumayan lah...). Allahu akbar!

Everybody has his/her own battle and all we can do is work hard. Seorang teman saya pernah berkata, “kalau ada orang yang lebih kaya atau sukses daripada kamu, lihat jam berapa dia pulang dari kantor.” Maksudnya itu kiasan untuk menggambarkan yaaa orang itu gimana kerja kerasnya. Kecuali kalau dia kaya dari warisan, beda cerita. Hehe.

Untuk itu, saya punya dua contoh yang bisa sister pelajari. Pertama, kamu bisa baca bukunya Kak Teppy (Stephany Josephine) yang berjudul “The Freaky Teppy: Cerita Hidup Penuh Tawa Walau Luka-luka”. Saya sudah pernah menuliskan review bukunya di sini. Kalau kamu cek Instagram dan blog Kak Teppy, sekitar 2-3 tahun terakhir kakak cantik satu ini makin heboh traveling dan kerjaannya. Siapa belum pernah baca review Ayat-ayat Cinta 2-nya yang ngehe abis? :))) Luar biasanya, she is still as humble as I knew her first time. Melihat kak Teppy yang sekarang enggak akan bikin orang berpikir dulu dia pernah ‘miskin’ (pokoknya kalian kudu baca bukunya). Hehe.

Kedua, mas Ariev Rahman. Saya memang belum jadi travel blogger, tapi kalau saya lagi malas mengerjakan proyek-proyek pribadi saya, saya pasti teringat akan mas satu ini. Selain menjadi pekerja kantoran dan memiliki blog traveling yang heitsnya kanmaen; ia pun menjalankan bisnis travel bersama teman-temannya. Yang ada di pikiran saya, “ini masnya tidurnya berapa jam sehari yak?” But he is a true hardworker at heart, and I think you can learn a lot from him.

Barangkali tidak semua orang harus bekerja sekeras saya, atau Kak Teppy, atau Mas Ariev. Hanya saja buat kita yang tidak punya nama ‘Bakrie’ sebagai nama keluarga; rasanya kita kok masih harus kerja keras kalau mau ‘hidup enak’, hihi. Ingatlah bahwa Allah tidak akan mengubah nasib kita kalau kita sendiri tidak berusaha.
"...Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri..." Q.S. Ar-Ra'd (13): 11

And maybe as I have said, it’s not about how much you can get but how much you can contribute to the society.


Sabar, sabar, sabar. Dan tetap ikhtiar.

Lots of love,
Prima 

Sunday, February 18, 2018

Perjalanan Menuju Cahaya (Teaser)

“Dan demikianlah Tuhanmu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebahagian dari ta'bir mimpi-mimpi dan disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Ya'qub, sebagaimana Dia telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada dua orang bapakmu sebelum itu, (yaitu) Ibrahim dan Ishak. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Yusuf (12): 6)

Awal tahun 2018, saya ‘terpaksa’ menemui psikolog dan psikiater karena sudah tak sanggup menahan penderitaan. Long story short, saya didiagnosis mengidap ‘severe depressive episode without psychotic syndrom’, yaitu gangguan psikologis yang tidak keren pokoknya. Awalnya saya shock karena tidak menduga sama sekali; saya kira saya hanya stres biasa. Akan tetapi, berhubung saya menulis blog dan buku harian, belakangan saya menjadi sadar kalau gejala depresi sudah muncul sejak awal 2016. Meskipun demikian, fisik dan mental saya mampu menahannya sampai Agustus 2017. Saat itu saya kewalahan dengan berbagai keperluan yang harus saya urus setelah melalui ujian tesis.

Puncaknya, saya merasakan dorongan yang sangat kuat untuk bunuh diri pada tanggal 20 Agustus 2017 (kok tahu? Ya kan saya tulis di diary). Saya sudah menenggak dua tablet obat tidur, tapi urung meminum lebih banyak karena takut dosa kalau beneran meninggal. Keesokan pagi, betapa bersyukurnya saya masih diberi hidup – walaupun rasanya tetap enggan beranjak dari tempat tidur dan tidak ada energi untuk melakukan apapun. Sayangnya, tekanan sosial dan daftar aktivitas yang harus dipenuhi menahan saya dari mencari penyebab kejadian ini. Saya pun menjalani hari dengan tertatih-tatih sampai tahun 2017 berakhir.

Beberapa hari sesudah tahun baru, saya muntab. Tingkah laku saya semakin tak terkendali sehingga sahabat terdekat pun menyarankan agar saya memeriksakan diri. Saya menemui dokter umum sambil membawa buku harian saya; menjalani serangkaian tes bersama psikolog; lalu dirujuk ke dokter spesialis kejiwaan. Sungguh hati saya remuk, tetapi saya percaya ada hikmah di balik ini semua. Saya merasa ini adalah bagian dari ikhtiar saya untuk menjadi hamba yang lebih baik di mata Allah; sekaligus mengoptimalkan fungsi saya sebagai makhluk sosial.

Hari demi hari, saya mulai membaik. Namun begitu, tidak mudah bagi saya untuk mengakui hal ini pada awalnya. Saya takut teman-teman saya menjauhi saya, saya pun khawatir dengan penghakiman orang atas saya. Alhamdulillah teman-teman saya justru menjadi pendukung terbaik saya. Tidak ada satupun yang mencerca atau merendahkan saya. Pujian dan apresiasi malah datang bertubi-tubi, menguatkan hati saya untuk terus menjalani perawatan.

Lucunya, banyak orang – seperti followers saya di media sosial atau pembaca blog – yang tidak percaya kalau saya mengalami depresi. Mungkin sudah pembawaan saya yang sanguinis dan ekstrovert untuk tampak ceria, meski berjuta beban sebenarnya menggelayuti bahu saya. Di kelompok pergaulan manapun, saya memang dikenal sebagai badut yang bicara paling lantang dan tertawa paling keras. Sungguh tak ada yang akan menduga kalau saya kerap menangis hingga mengamuk kalau sedang sendiri.

Salah satu tanggapan dari teman yang cukup menggelitik saya untuk menuangkannya dalam bab ini adalah,
“But mbak Prima, how could you be depressed? Your life is perfect. You are beautiful, smart, and have such an amazing life. Imagine if you were me...”

Ini teman saya yang bilang lho ya, bukan saya. Hehe. Dia pun mengeluarkan unek-uneknya tentang permasalahan hidupnya sejak kecil sampai sekarang; sehingga dia menganggap dirinya lebih ‘pantas’ untuk mengidap depresi daripada saya. For your information, dalam sudut pandang medis, seringnya depresi tidak berhubungan dengan seberapa cantik/terkenal/kaya/relijius seseorang. Sejauh yang saya pahami, depresi adalah gabungan dari turunnya ketahanan mental, serta reaksi dari saraf-saraf di otak yang berkaitan dengan zat-zat/hormon tertentu dalam tubuh. Dengan demikian, seseorang yang depresi tidak dapat berpikir dengan jernih layaknya orang normal. Dalam kasus saya, obat-obatan dibutuhkan untuk menyeimbangkan zat-zat/hormon tersebut. Meningkatnya kekebalan fisik saya, insyaAllah akan berimbas positif pada kekukuhan psikologis saya. Tahu enggak, apa yang saya pikirkan selama proses penyembuhan? Maha Besar Allah yang menciptakan akal manusia untuk terus mengembangkan ilmu; ditambah dengan orang-orang tulus yang mau mengemban misi sebagai psikolog dan psikiater. Luar biasanya lagi, orang-orang yang menangani saya itu mampu menuntun saya untuk menerima kejadian ini dengan penuh keimanan. Semoga Allah berkenan memberkahi hidup mereka.
Kembali ke perkataan teman saya, saya pun tertawa saat mendengarnya. Saya menjawab, “you don’t know my life. I have endured more pain than any common people. I have been living under the cloud of negativity for too long until it becomes difficult for me to see the light. For the last five years, I have became the most insecure person in the world no matter how big my achievements are.”

Barangkali sister akan bertanya-tanya, apakah saya tidak cukup beribadah hingga harus jatuh terpuruk seperti ini? Sebenarnya, masalah-masalah yang terus berdatangan sungguh membuat saya lebih dekat dengan-Nya. Ada suatu masa lutut saya sampai melepuh karena terlalu banyak salat dan terlalu lama bersujud. Saya pun semakin sering menekuni Al-Qur’an dan terjemahannya. Dan saat itulah saya jatuh cinta kepada Nabi Yusuf a.s.

Konon cerita tentang ketampanannya sudah sering kita dengar, sementara kisah cintanya dengan Zulaikha juga santer dibagikan untuk menginspirasi kita agar menahan hawa nafsu. Namun bukan itu yang membuat saya takjub.
Yusuf a.s. mengalami banyak masalah dalam hidupnya. Tetapi ketika dia menoleh pada masa lalu kehidupannya, dia berkata, ‘Ah tidak, Allah Mahatahu apa yang sedang terjadi pada diriku selama ini, dan semua ini adalah kebijaksanaan-Nya.’ Subhanallah. (Nouman Ali Khan, 2016: 69)

Semua nabi dan rasul menghadapi ujiannya masing-masing. Akan tetapi, Yusuf telah menjalani kehidupan yang ‘sengsara’ sejak kecil, pun salah satu penyiksa terberatnya adalah kakak-kakaknya sendiri. Bayangkan kalau sister dibenci oleh saudara sister, diajak main ke suatu tempat terpencil dan ditinggal di sana. Betapa sakitnya hati ini.

“Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: "Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi". (Q.S. Yusuf (12): 15) 

Kemalangan Yusuf tak berhenti di situ. Memang ada sekelompok orang yang menyelamatkannya, tetapi ia malah dijual, untuk kemudian dibeli oleh penguasa Mesir.

“Kemudian datanglah kelompok orang-orang musafir, lalu mereka menyuruh seorang pengambil air, maka dia menurunkan timbanya, dia berkata: "Oh; kabar gembira, ini seorang anak muda!" Kemudian mereka menyembunyikan dia sebagai barang dagangan. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. Yusuf (12): 19) 

“Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf.” (Q.S. Yusuf (12): 20) 


Apakah lalu hidupnya menjadi lebih baik? Ya, untuk sementara. Sebelum Zulaikha menggodanya dan menjadikannya sebagai sasaran fitnah. Yusuf tak gentar sedikit pun. Ia justru memilih untuk dipenjarakan!

“Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh".  (Q.S. Yusuf (12): 33) 

Saat di penjara inilah, Yusuf mulai menunjukkan kenabiannya dengan menafsirkan mimpi penghuni penjara lainnya. Sedihnya, ia ‘apes’ sekali lagi. Si narapidana yang berhasil keluar dari penjara, ternyata lupa menyebutkan perihal Yusuf kepada tuannya! MasyaAllah. Setelah beberapa tahun, barulah mantan napi itu teringat untuk ‘mempromosikan’ jasa Yusuf dalam menginterpretasi mimpi kepada sang raja. Maka Al Aziz pun mengangkat Yusuf sebagai bendaharawan negara. Fiuh, akhirnya...

“Dan Yusuf berkata kepada orang yang diketahuinya akan selamat diantara mereka berdua: "Terangkanlah keadaanku kepada tuanmu". Maka syaitan menjadikan dia lupa menerangkan (keadaan Yusuf) kepada tuannya. Karena itu tetaplah dia (Yusuf) dalam penjara beberapa tahun lamanya.” (Q.S. Yusuf (12): 42)

“Dan berkatalah orang yang selamat diantara mereka berdua dan teringat (kepada Yusuf) sesudah beberapa waktu lamanya: "Aku akan memberitakan kepadamu tentang (orang yang pandai) mena'birkan mimpi itu, maka utuslah aku (kepadanya)". (Q.S. Yusuf (12): 45)

“Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju kemana saja ia kehendaki di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Yusuf (12): 56)

Ternyata, perjalanan hidup Yusuf yang berliku tersebut membawanya kepada hadiah terbesar dari Allah: kemuliaan dunia-akhirat. Dan luar biasanya, ia begitu bersabar dalam menjalani ketetapan Allah, dan terus berprasangka baik kepada Allah. Coba kalau kita yang diuji oleh Allah seperti itu? Mungkin yaaa, ujung-ujungnya seperti saya, melambaikan bendera putih alias menyerah.
Pada bagian awal surah itu (surah Yusuf) sebelum masalah timbul, kita menoleh ke Allah dan menyebut-Nya sebagai Mahatahu dan Mahabijaksana. Lalu kita mempunyai harapan rencana besarnya bagi kita. Ketika masalah timbul, kita menyebut Allah sebagai Mahatahu dan Mahabijaksana karena apa pun yang terjadi itu adalah bagian dari pengetahuan dan kearifan Allah. Kita percaya pada-Nya. Dan ketika masalah kita teratasi, kita berpaling lagi pada Allah Swt. dan mengatakan bahwa Allah menolong kita. Kita bisa melihat peristiwa itu baik untuk keimanan kita. Dan hal itu juga baik dari sisi lain. Bahkan ketika kita tidak memahaminya, Allah Swt. mempunyai kebaikan untuk kita. Allah Swt. mempunyai sesuatu untukku. (Nouman Ali Khan, 2016: 75)

Suatu kali saat saya sedang berada dalam perjalanan menuju rumah sakit untuk menemui psikiater, saya melihat pelangi yang begitu indah di kejauhan. Sister tahu kan, kalau pelangi hanya dapat muncul sesudah hujan? Hidup seperti itu – cahaya hanya akan tampak sesudah gelap yang begitu pekat.

Maka saya pun mengucap syukur berkali-kali. Alhamdulillah, Allah masih berkehendak untuk memanggil saya mendekat dengan-Nya. Ia langsung ‘turun tangan’ untuk memberikan jalan keluar. Ia mengirimkan orang-orang baik untuk membantu saya memperbaiki diri. Ia memberikan keberanian bagi saya untuk membagikan cerita ini kepada sister, semata agar sister bisa mengambil pelajaran.

Dan tahukah sister, apa kearifan yang nilainya paling besar dari peristiwa ini? Saya jadi mengerti bahwa Allah masih sayang sama saya. Ia masih peduli akan saya, dan Ia percaya saya bisa naik level setelah ujian ini. He trust me, so why can’t I trust myself?

Ramadan kali ini, mari resapi makna ujian hidup yang diberikan oleh Allah. Yakinlah bahwa tak ada ujian tanpa ganjaran; sebagaimana tak ada penyakit tanpa obat. Allah sudah menjanjikan, dan memberikan contoh melalui kisah nabi-nabi. And now it depends on us, will we fight to pass the test? Bismillah. 

Monday, February 12, 2018

7 Tips Survive di Jakarta

Akhirnya saya kembali ke Malang setelah menghabiskan seminggu di Jogja, dua hari di Bandung, dan seminggu di Jakarta. Capek ye kan ngikutin kegiatan saya? Well, banyak orang yang punya kegiatan lebih padat daripada saya dan mereka fine-fine aja. Makanya saya bilang sama diri sendiri, ada hal-hal yang perlu diperbaiki dari keseharian dan mindset saya. Terutama karena saya sedang mencoba untuk lebih positif dalam memandang kehidupan.

Saya pribadi belum merasa mampu untuk membagikan kisah depresi saya di blog karena ceritanya perlu diatur sedemikian rupa, dalam artian biar runtut dan mudah dipahami oleh sister. Saya juga lagi mikir bagaimana cara terbaik untuk menyampaikannya agar sister enggak semakin bertanya-tanya, “jadi masalahnya apa?” Hehe. Akan tetapi, berhubung saya sudah lama menulis blog, saya jadi tahu kalau depresi ini akumulasi dari masalah-masalah yang telah lalu. Mungkin sejak tahun 2016, atau tahun 2014, atau mungkin juga jauuuh sebelumnya. But one thing I know, setiap tahunnya selalu ada turning point yang membuat saya kembali optimis karena ada harapan baru. Atau barangkali harapan itu ada di situ-situ terus, hanya mata batin saya tertutup oleh kabut permasalahan yang lebih saya fokuskan.

Intinya... I have been living under the cloud of negativity for too long until it becomes difficult for me to see the light.

Hampir sama dengan perjalanan saya ke Jakarta. Minggu lalu adalah kali ketiga saya menghabiskan waktu cukup lama di Jakarta (dalam kurun waktu tahun 2017-2018). Biasanya saya ke Jakarta maksimal tiga hari; misal menghadiri seminar, interview kerja, dan sebagainya. Bahkan saya pernah ke Jakarta dalam hitungan belasan jam karena saya enggak pernah mau berlama-lama di Jakarta.

April 2017, saya ‘terpaksa’ stay di Jakarta lebih dari seminggu karena kebanyakan informan tesis saya berdomisili di Jakarta. Tadinya saya mau menuangkan pengalaman tersebut melalui blog post berjudul “My Thesis, My Adventure” tapi tesisnya keburu kelar. Hahahahaha. November 2017, saya ke Jakarta lagi untuk mengikuti training di kantor, koordinasi pekerjaan, dan ketemu beberapa orang yang potensial jadi kolega kerja. Sempat agak sedih karena rencana proyek yang dibicarakan saat itu belum ada yang goal sampai sekarang. Tapi percaya aja kalau Allah masih meminta saya untuk terus ikhtiar, alhamdulillah.

Dari pengalaman beberapa kali ke Jakarta tersebut, saya merasa semakin tahu bagaimana cara ‘menaklukkan’ Jakarta. Meskipun saya masih berpikir seribu kali kalau harus beneran kerja di Jakarta, tapi setidaknya saya jauh lebih siap daripada bertahun-tahun yang lalu. Pandangan saya terhadap Jakarta lambat laun berubah seiring bertambahnya frekuensi saya datang ke kota ini. That’s why saya pingin share tips-tips dari saya yang sok tau untuk sister yang kebetulan harus pindah ke Jakarta. Yuk simak.

1. Know Your Purpose
Layaknya lulusan S1 pada umumnya, dulu saya menargetkan untuk bisa bekerja di korporasi dengan harapan mendapatkan gaji tinggi dan tunjangan besar. Jakarta menjadi pilihan pertama karena disanalah pusat operasional perusahaan. Setelah berkali-kali gagal dalam melamar pekerjaan dan tes ini-itu, saya pun pulang ke Surabaya dan bekerja di sebuah start-up. Saya tidak menyesalinya karena toh itu sudah berlalu. Namun begitu, baru-baru ini saya mencoba melamar pekerjaan di Jakarta lagi dan to be honest, saya sempat kaget ketika mendapat tawaran gaji yang cukup mengenaskan. Saya bingung karena saya ini lulusan S2 dengan pengalaman kerja sekitar 3,5 tahun tapi gaji yang diberikan hanya sedikit di atas UMR Jakarta. Saya berulang kali cross-check ke teman-teman yang sudah tinggal di Jakarta duluan, atau yang bekerja sebagai HR, dan mereka menyatakan gaji segitu tidak cukup untuk tinggal di Jakarta. Bisa sih kalau ngirit, tapi nanti saya bahas di poin yang lain.
Maka dari itu, sebelum berangkat ke Jakarta, kamu harus menyakinkan diri tentang tujuanmu. Reality speaks, enggak semua orang bisa dapat gaji yang langsung gede meskipun sudah bekerja di korporasi di Jakarta, tapi barangkali kamu punya tujuan lain. Yang paling memungkinkan menurut saya, kejar networking seluas-luasnya karena ini jauh lebih tinggi nilainya daripada gaji . Untuk masalah gaji yaaaaa, setidaknya kamu bisa hidup layak dan ‘tidak memaksakan diri’, if you know what I mean.

2. Invest on Place to Stay
Setelah seharian yang melelahkan di tempat kerja, all you need is a nice place to sleep. Betul? Makanya jangan pelit sama kosan. Cari tempat yang dekat dengan kantor (kalau bisa jalan kaki), pencahayaan dan sirkulasi udaranya bagus, lingkungannya tidak terlalu berisik, dan aman. Kriteria lain yang mungkin bisa kamu terapkan untuk menghemat pengeluaran adalah, cari kosan yang ada space untuk mencuci dan menyetrika baju. Laundry mahal cyin. Malah menurut saya, mending waktu yang ada dipakai nyuci baju daripada masak. Kalau kamu beruntung, masih bisa dapat makanan murah-enak di kantin kantor. Saya aja ngerasain makan siang 12ribu udah dapat sayur dan lauk. Tapi saya belum pernah dapat laundry murah-meriah, hiks.
Kabar buruknya, kosan yang ‘sempurna’ bisa jadi mahal; dan kosan yang biasa aja tapi harganya terjangkau bisa jadi ada di gang-gang sempit nan nyelempit. Menurut saya, kalau kamu ‘berinvestasi’ sekitar 20-30% dari gaji untuk tempat tinggal, itu masih wajar. Apalagi kalau kamu enggak perlu mengeluarkan biaya transportasi kalau mau ke kantor, itu udah bikin kamu enggak perlu stres menghadapi kemacetan setiap pagi dan sore hari. And yes, as I have said, you need a comfortable place to recharge your energy.

3. Pay Attention to What You Eat
Selain berinvestasi pada tempat tinggal, please make sure you invest on your health. Salah satunya tentu saja dari makanan. Harga buah mungkin lebih mahal daripada gorengan, tapi kalau jatuh sakit di perantauan, rasanya lebih miris lagi (saya udah pernah ngalamin, haha). Apalagi di kantor saya, orangnya pada hobi ngemil. Kayaknya makanan enggak habis-habis, dan jadi tergoda buat jajan terus. Makanya saya menenggak Vitamin C & E, dan suplemen serat. Kalau perlu ditambah Vitamin A juga, terutama karena kita jaman sekarang harus ngeliatin komputer setiap hari. Saya pribadi masih suka minum susu, tapi sudah mulai mengurangi minuman manis lainnya karena apaaaaa.. Konsumsi gula berlebihan, ditambah aktivitas tubuh yang enggak terlalu aktif, bisa memunculkan diabetes. Memperhatikan makanan juga berarti memperhatikan anggarannya, karena sekali makan di mall/kafe bisa mahal banget. Cukuplah sekali seminggu atau sekali sebulan, mending uangnya ditabung buat beli tiket kereta/pesawat untuk mudik.

4. Save First, Spend Later
Pay the bills, check. Menyiapkan anggaran untuk makan dan transportasi sebulan, check. Lalu apa? Prioritaskan menabung sebelum nongkrong atau belanja. Saya amat sangat paham kalau sister merasa pantas menghadiahi diri sendiri dengan barang atau makan enak setelah bekerja sangat keras. Jangankan di Jakarta, tinggal di kota lain pun saya begitu. But the problem is, everything in Jakarta might be little too expensive for what we actually deserve. Dan sayang juga kan kalau usaha kita selama ini tidak membuahkan hasil yang ‘kelihatan’. Jadi jangan ngerasa sungkan sama teman jika minggu ini kita harus menolak ajakan mereka untuk nonton konser; because yes, there are so many entertainment stuffs in Jakarta and maybe you feel like a ‘kampungan’ to turn down the offers.

5. Have Extracurricular Activities
Living in Jakarta can be so lonely, I assure you. Kamu enggak punya saudara atau kerabat yang tinggal di Jakarta; dan enggak dekat juga sama teman kantor; rasanya bingung mau ngapain sepulang kerja. Belum lagi kalau akhir pekan datang. Ketika kesepian melanda, pasti pingin nangis dan ujung-ujungnya menyerah. Enaknya tinggal di Jakarta, ada beragam kegiatan positif yang bisa kamu pilih untuk mengisi waktu luangmu. Coba cek Instagram @maubelajarapa, ada workshop dan komunitas yang bisa kamu ikuti. Kamu penggemar olahraga? Grup olahraga apapun ada di Jakarta, bahkan yang judul olahraganya lari ‘doang’, komunitasnya bisa berjumlah ratusan. Dari mulai trail run, long distance relationship run, emak-emak run (ngaco), dan masih banyak lagi. Tapi ingat ya, prioritas pertamamu di Jakarta adalah bekerja dan kamu harus mengatur waktumu dengan baik. Jangan sampai akhir pekan malah kamu jejali dengan kegiatan sampai kecapekan. Tipikal orang Jakarta nih, Sabtu digunakan untuk bergaul atau apapun yang enggak bisa mereka lakukan pada weekday; lalu Minggu digunakan untuk bobok seharian.

6. Manage Your Expectation
Biar dikata kamu udah bekerja di perusahaan mentereng dan punya banyak kenalan, tapi tetap saha hidup di Jakarta adalah sumber dari ketidakpastian. Saya kasih contoh sederhana: kemacetan. You just never know when it will suddenly appear between your to-do list. Tentu ada jam-jam yang bisa diprediksi, tapi entah kenapa, kadang adaaaaa aja yang malang melintang antara kita dan appointment yang sudah kita buat. Sudah tak terhitung berapa kali janjian saya dan teman harus batal karena terjadi situasi yang tidak diharapkan. Terima kejadian tersebut dengan santai dan jangan kecewa. Jangan pula berkecil hati karena itu artinya kita harus belajar mengusahakan yang lebih baik pada kesempatan lain. Mungkin mengganti tempat ketemuan; atau mengubah moda transportasi untuk mencapai suatu daerah. Untungnya, Jakarta punya TransJakarta, Commuter Line, dan angkot/bus yang bisa kamu manfaatkan. Install aplikasi Trafi deh (I am not endorsed, btw :p), it is so useful!

7. Be Grateful
Buat sister yang baru mencoba hidup di Jakarta, here’s the saddest truth: Jakarta enggak (selalu) seperti apa yang tampak di post Instagram para selebgram. You don’t do nongkrong syantik everytime with perfect clothes and on-point make up. YOU WORK VERY VERY VERY HARD EVERY DAMN DAY! Mereka, para fashion/beauty influencer itu, juga kerja keras setiap saat, tapi mungkin enggak kelihatan aja oleh kita. I do realized most people in Jakarta wake up before 4AM, start to go to their office at 6AM, work until late, back home at 9-10PM, and have to repeat it again tomorrow. Bahkan pemandangan orang-orang yang harus melakukan dua pekerjaan (seperti kerja di kantor pada pagi hari dan ngojek pada malam hari), itu BIASA. Jadi, kalau kamu sudah dapat pekerjaan yang lumayan enak, SYUKURI. Kalau kamu udah enggak kuat di Jakarta, ya mending pulang aja daripada tiap hari mengeluh. Jakarta itu keras, dan orang-orang yang tinggal di sini bermental baja. What about you?

Pada akhirnya, hidup itu pilihan dan hingga detik ini saya masih memilih untuk tidak tinggal di Jakarta secara permanen. Saya sangat mengagumi mental orang Jakarta, dan saya punya perasaan yang berkecamuk setiap kali pulang dari Jakarta. Tak henti-hentinya saya bersyukur karena saya punya teman-teman dan saudara yang mengasihi saya selama saya di Jakarta, and they make my life easier. But at the end of the day, it is still challenging for me to have a high-quality life in Jakarta because I feel tired all the time. Mungkin suatu hari nanti jika sudah tidak ada pilihan lain, saya akan menerima kenyataan dan pindah ke Jakarta sambil mengaplikasikan tips-tips di atas. Buat kamu yang ngebaca post ini, boleh banget menambahkan tips lain berdasarkan pengalamanmu. Saya tunggu di komen ya! :)

Love,
Prima
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...