Monday, December 10, 2018

Pasti Ada Alasan Mengapa Tuhan Menciptakan Saya Begitu Perasa

“Foto ini bagus banget ya, kamu terlihat sangat ceria.”

Saya memandangi sebuah foto candid yang baru saja dikirim oleh instruktur zumba kepada saya. Outfit pink dan kerudung kuning saya, secara tak sengaja berwarna sama dengan bola-bola yang ada di belakang saya. Tak hanya itu, saya tertawa lepas, menyisakan garis mata – ekspresi yang biasa muncul ketika saya terbahak-bahak.  

Saya, sang instruktur zumba, dan rekan-rekannya, saat itu sedang berada di pantai untuk melakukan zumba on the beach. Piknik, berolahraga, sambil mengikat tali persaudaraan. Sebuah pengalaman baru bagi saya yang biasanya hanya bertegur sapa di kelas dansa. 

Tak banyak yang tahu bahwa pada malam harinya, saya masih menangis tersedu-sedu. Bahkan saat di pantai pun, saya lebih banyak diam. Berbicara hanya ketika ditanya, bahkan berjalan-jalan sendiri menuju tepi laut. 

Tak ada yang menduga bahwa beberapa hari sebelumnya, saya baru saja mengalami patah hati. Yang pertama kalinya setelah sekian tahun. Hubungan yang berawal dari online dating itu memang baru memasuki tahap pembicaraan yang berkembang. Lebih dari sekadar “sedang apa?” atau “sudah makan” menjadi “apa yang kamu pikirkan tentang...?” Setiap harinya, percakapan kami semakin menggebu-gebu karena tampak ada chemistry terjalin di antara kami. Namun sesudah beberapa topik, mulai tampak bahwa perbedaan kami tidak dapat dicarikan jalan keluarnya. Yang membuat saya bersedih hati, kami menutup telepon dengan perasaan marah kepada satu sama lain. Saya pun menangis hingga lelah dan tertidur. Esoknya dan beberapa malam sesudahnya, saya masih terus-menerus menangis. Tak sanggup menerima kenyataan bahwa tiba-tiba saja kami sudah tidak berbicara lagi. 

Saturday, December 8, 2018

Rasanya Kehilangan Sahabat

“When you lose a best friend, it's worse than breaking up with a boyfriend. Because you lose more than a heart, you lose a little bit of yourself.” – Anonymous

Sebelum saya merilis 2018 Year Review (baca tahun 2016 dan 2017 dulu deh yaaa), izinkan saya berbagi sebuah kepedihan yang mendera selama setahun ini. Tahun ini Allah mengaruniai saya banyaaaaak teman baru; thanks to Muslimah Sinau, Ubud, and Jakarta...

But, I lost a lot of my best friends.

Kayaknya lebay banget ngomong ‘a lot’, tapi kalau lebih dari SATU orang itu buat saya sudah banyak. Tahun 2016 saya pernah menulis bahwa saya punya cukup banyak sahabat karena biasanya persahabatan tergantung ‘peruntukan’ dan ‘tujuan’; misal ada sahabat yang enak dijadikan tempat curhat tentang agama, tentang passion dan karier, tentang orangtua dan hubungan percintaan, dan sebagainya. Tetapi tentu ada orang-orang yang saya anggap sahabat dekat, dan saya bisa berbagi kepada mereka tentang apapun.

I personally think soulmate is much more than a lover/spouse. Punya sahabat yang satu frekuensi – dengan segala perbedaan kita, tapi tetap bisa berkomunikasi tanpa berargumen terus-menerus hingga membuat kita kehilangan kepribadian – itu kesempatan yang harganya sangat mahal. I won’t trade it with anything in the world.

Thursday, November 15, 2018

Review "Hanum & Rangga" & "A Man Called Ahok"

[DISCLAIMER: 1) Mari kita berbicara tentang FILM secara objektif. Kalau kita ngomongin perkara Ahok begini-begitu, Hanum begini-begitu, pastilah tidak ada habisnya. Akan tetapi, jika kita melihat hanya pada produk film, dengan begitu banyak orang yang bekerja di baliknya, yuk hargai karya anak bangsa! | 2) Saya membeli tiket dengan uang saya sendiri dan saya menonton kedua film atas keinginan sendiri tanpa ada paksaan dari pihak mana pun.]

Hari Sabtu, 10 November 2018 saya ke Denpasar karena hendak mengajar ngaji. Berhubung saya memang berencana berangkat pagi (menghindari kepanasan di jalan) dan jadwal saya mengajar adalah pukul 16.30, saya berpikir… “nonton di bioskop ah.” Dan seperti biasa, berhubung saya jomblo, saya pun nonton sendiri. #ngenesamatprim

Jujur, pilihan pertama adalah A Man Called Ahok
– justru karena saya mendapatkan broadcast message di WhatsApp tentang betapa film Hanum & Rangga mengajarkan nilai-nilai kekeluargaan, sementara Ahok di dunia nyata kan bercerai. Saya enggak paham mengapa orang mau membandingkan film dan pribadi, sementara pada akhirnya toh Hanum Rais dalam tweet atau komentar di Instagram-nya menyatakan, karakter Hanum di film itu bukan dirinya, melainkan sebuah tokoh yang terinspirasi dari apa yang dia alami. Lagipula, dalam hal perceraian Ahok, rasa-rasanya kok bukan Ahok yang salah ya. Hmmm. Maka dari itu, saya ingin menonton kedua film dan membandingkannya secara seimbang. Sayangnya, Hanum & Rangga hanya diputar di Park 23, sedangkan saya waktu itu sedang berada di Level 21. Tapi karena sudah diniatkan, ya sudah saya ngebut ke Park 23.

Qadarullah, setelah selesai menonton Hanum & Rangga, saya dikabari bahwa murid saya mendadak sakit. Jadi saya pun segera kembali ke Level 21 untuk ‘bernapas’ dan mencerna film yang baru saja saya tonton. Selepas salat magrib, saya pun memasuki bioskop untuk menonton A Man Called Ahok. Tanpa perlu berpanjang lebar lagi, silakan simak review saya untuk kedua film berikut.

Opening: Film Hanum & Rangga dibuka dengan clip kejadian 9/11 yang membuat saya nganga --- memang enggak ada isu lain yang lebih baru atau update ya? Kebijakan Trump, kisah-kisah islamophobia yang masih marak di berbagai belahan dunia, dan sebagainya. Lalu adegan loncat ke dialog Hanum, Azima, Rangga dan Philipus (di telepon) yang menyatakan betapa Hanum sangat berjasa dalam memberitakan kebenaran. WAIKI masalahnya saya kan enggak baca bukunya atau nonton film sebelumnya. Saya langsung terdiam sejenak dan berdoa agar ada penjelasan di belakang-belakangnya tentang siapa Azima dan siapa Philipus (…dan ternyata enggak ada -_-).

Sementara itu, film Ahok dibuka dengan dramatis: rekaman suara Ahok saat membacakan pidato pada hari dimana ada demonstrasi di markas Brimob tempatnya ditahan. Saya sempat berharap bahwa film ini akan memasukkan hal-hal ‘kontroversial’ berkenaan dengan penahanan Ahok, sehingga saya berusaha lebih konsentrasi dalam menonton (…dan ternyata enggak ada juga -_-).

Nilai-nilai Kekeluargaan: To my surprise, film Ahok sangat mengedepankan nilai-nilai ini, lebih daripada film Hanum. Bahkan saya merasa film Ahok seharusnya diberi judul “A Man Called Tauke (Papanya Ahok)”, hehehe. Soalnya kita dibuat memahami mengapa Ahok melakukan apa yang ia lakukan selama ia berbisnis atau memerintah. Sementara film Hanum terlalu fokus pada Hanum dan impiannya. Rasanya, penonton membutuhkan beberapa adegan atau dialog yang menggambarkan hubungan Hanum & Rangga dengan lebih baik. Mungkin bagaimana mereka dulu bertemu, kekaguman Rangga atas kegigihan Hanum, atau sebaliknya bagaimana Rangga selalu berusaha membantu Hanum (itu kalau saya baca dari buku berjudul I Am Sarahza). Pada film Hanum & Rangga, penonton seolah-olah dipaksakan untuk memahami bahwa Rangga sedang S3 di Eropa (whyyyyy mereka harus menyebut ‘Vienna’ instead of ‘Wina’???) tapi mereka sedang berada di Amerika Serikat, karena….. entahlah.

Tuesday, November 6, 2018

For The Last Two Months...

Masya Allah! Pertama, saya shock karena sudah DUA bulan tidak blogging, dan ini akan berimbas pada… sepertinya jumlah blog post saya tahun ini tidak mungkin mengungguli – atau bahkan menyamai – jumlah blog post tahun 2017. Nge-blog seminggu sekali apa susahnya sih, Prim? Itu dia… Mencari topik untuk dijadikan blog post itu enggak susah, yang susah adalah mengumpulkan motivasi dan… WAKTU! Ah elah, itu Diana Rikasari tetap bisa blogging meskipun akhir-akhir ini blog post-nya semakin singkat daripada beberapa tahun yang lalu. But yes, currently I am maintaining an Instagram account named Muslimah Sinau, remember? Tugas untuk kurasi konten dan menyempurnakan caption masih ada di pundak saya. Membuat tiga post setiap hari pada hari Senin-Jumat dan sesekali merekam podcast untuk Dawn2Dusk ternyata butuh banyak energi. Terkadang saya menghabiskan setengah hari pada akhir pekan hanya untuk menyiapkan konten selama satu minggu. Belum lagi, mengajar ngaji, dan memikirkan proyek-proyek Muslimah Sinau berikutnya. Btw, sekarang saya sedang menggarap buku antologi yang insya Allah akan diterbitkan menjelang Ramadan tahun depan. Sejauh ini ada 15 orang kontributor – para followers Muslimah Sinau – yang menyumbangkan tulisan mereka. It’s an exciting stuff for me as I am editing, giving them feedback, as well as taking care of the cover, publisher, and so on.

Kedua, #uwrf18 has been accomplished!!! Sejak awal September, suasana kerja yang intens mulai terasa. Begitu masuk Oktober, berbagai tantangan dan kendala muncul silih berganti. Bahkan saya bisa bilang suasana mendadak ‘mencekam’ karena ada hal-hal yang tidak sesuai dengan harapan kami. Tapi apa mau dikata, Festival harus tetap berjalan. Alhamdulillah, saya melewati empat hari (24-27 Oktober 2018) dengan ‘gagah berani’. Hari Minggu, 28 Oktober 2018, saya bertolak ke Palangka Raya untuk menjalankan program kantor, berkolaborasi dengan Kedutaan Amerika Serikat: Satellite Event. We visited two universities: IAIN Palangka Raya dan Universitas Palangka Raya; and the audiences were amazing!

So, apa saja highlight dari Ubud Writers & Readers Festival tahun ini untuk saya? Here we go.

Wednesday, September 5, 2018

Tentang Investasi Akhirat

Saya memandangi surat Al-Qari’ah yang terpatri di dinding pagar Masjid Ramlie Musofa, Jakarta Utara. Jauh amat mainnya, Prim. He eh, sebagai anak gaul Jaksel (halah), saya sempat merasa bangga dengan ‘pencapaian’ saya walaupun sebenarnya untuk bisa tiba di Sunter masih jauh lebih mudah daripada ke Mall Kelapa Gading.

“Kenapa Al-Qari’ah?”, saya bertanya kepada Qowi, teman yang saya paksa buat nemenin ke Masjid Ramlie Musofa – berhubung memang rumahnya dekat banget sama masjid ini.

“Entahlah… Mungkin surat itu yang menginspirasi Pak Haji untuk masuk Islam?”

Masjid yang sepintas mirip Taj Mahal ini memang didirikan oleh seorang mualaf keturunan Tionghoa. Denger-denger sih, ‘Ramlie’ adalah nama dari ‘Pak Haji’, sedangkan Musofa merupakan singkatan dari ketiga anak dari Haji Ramlie, yakni Muhammad, Sopian, dan Fabian.

Despite the fact that the mosque is indeed beautiful and I highly recommend you to come here; I can’t help but think about the surah. Ketika saya bertolak dari Malang ke Bali dengan bus, saya punya cukup banyak waktu di perjalanan untuk bengong. Daripada kesambet, mending saya ngaji tipis-tipis ye kan, mumpung masih lumayan terang juga. Berhubung saya agak pusing kalau baca Alquran di bus (kalau di kereta atau pesawat masih gapapa), saya pun membaca buku saku Juz ‘Amma, sambil melancarkan hafalan surat yang masih gitu-gitu aja. Tepat sebelum matahari terbenam, saya mengakhiri bacaan saya pada surat Al-Qari’ah.

1. Hari Kiamat,
2. apakah hari Kiamat itu?
3. Tahukah kamu apakah hari Kiamat itu?
4. Pada hari itu manusia adalah seperti anai-anai yang bertebaran,
5. dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang dihambur-hamburkan.
6. Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya,
7. maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan.
8. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya,
9. maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah.
 

10. Tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu?
11. (Yaitu) api yang sangat panas.

Ayat 6 sampai 9 terngiang-ngiang di kepala saya hingga saya tiba di Bali. Karena tak henti-hentinya surat Al-Qari’ah ‘menghantui’ saya, saya pun memutuskan untuk membaca surat ini pada salat wajib, minimal sehari sekali. Surat ini menampar saya, di samping satu kejadian pada malam bulan Ramadan 1439 H.

Saya merasa bulan Ramadan tahun ini adalah salah satu Ramadan terbaik sepanjang hidup saya karena saya lumayan berfokus pada ibadah. TAPI, jujur hal ini membuat saya sedikit jumawa, as I had the feeling of accomplishment. Dan tepat pada saat saya menunggu momen Lailatul Qadar, Allah ‘menyentil’ saya.

Tidak biasanya, malam itu masjid dekat rumah saya menghadirkan imam yang ‘berbeda’. Lantunan ngajinya indah, suaranya juga berat dan menggetarkan jiwa (ahzeeek). Uniknya, beliau memberikan ceramah yang singkat dan padat:

““Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada akhirnya.”* Sehingga kita akan dinilai dari saat kita menghadap kepada Allah nanti: khusnul khotimah atau su’ul khotimah.” 
*(HR. Bukhari, no. 6607)

Udah, gitu doang ceramahnya, Pemirsa.

Sunday, September 2, 2018

Ubud Journal #9 - #10 - #11

Allahumma sholli ‘alaa Muhammad, pakai alasan apa lagi ini untuk ‘membenarkan’ kelakuan saya yang tidak menulis Ubud Journal sampai tiga minggu lamanya. *kabur dari hujatan netijen *menghapus title ‘Blogger’ di LinkedIn

Kalau saya bilang ‘sibuk’ atau ‘capek’, kayaknya udah basi banget yagaseeeh. Tapi ternyata, sejak Ubud Journal saya yang terakhir, saya justru semakin dan semakin sibuk sampai bingung yang mana yang mau dikerjain duluan. Dan pada kenyataannya saya semakin susah untuk bangun pagi, mungkin juga karena tidur pun semakin larut, astagfirullah.

Anyway, first thing first, I know it sounds crazy but I finally launched my podcast channel!!! ‘Out of nowhere’, Qowi – teman yang saya kenal dari workshop puisi di Jakarta sebelum Ramadan (dia pembicara, saya peserta OF COURSE :p) mengajak saya ikut di project-nya. Alasan saya mengiyakan sebenarnya retjeh: karena dia mau ngurusin yang lainnya, saya tinggal ngomong doang, hahaha. Mengusung nama Dawn2Dusk, Qowi dan saya ingin berbagi tentang pengalaman beragama kami yang masih cethek ini; semata untuk mendorong lebih banyak muslim millennial untuk mendalami agama Islam. Kalau di Muslimah Sinau saya fokus kepada cewek-cewek, kalau di Dawn2Dusk insya Allah bisa lebih luas lagi. Kalau kamu punya ide topik untuk dibahas, atau mau jadi narasumber, bisa hubungi saya atau Qowi di Instagram: @aqbastian. Kamu lebih memilih ngobrol sama Qowi daripada saya? OH GITU? #tersenyumsimpul #siapinsenjataapi #lho

Selain itu, saya sempat mudik ke Surabaya dan Malang; dan sedihnya, dibumbui drama telat ke bandara (Ngurah Rai). Jadilah saya berutang tiket pesawat kedua ke ayah (karena jam pesawat berikutnya mefet dan harus bayar pakai kartu kredit). Berkah dari merelakan uang sebanyak setengah juta rupiah lebih sedikit melayang adalah, saya kenalan dengan asisten pribadinya istrinya Raditya Dika yang juga sedang menunggu jadwal pesawatnya ke Jakarta. We had a nice conversation, especially because she is sooo funny. She shared some success tips from Raditya Dika, as we know that he is one of the most famous comedy writer/producer/Internet celebrity (not sure if I can refer him to this title but…) at the moment. Bunga (beneran ini namanya) cerita kalau Raditya Dika berangkat ‘kerja’ jam6 pagi dan baru pulang jam11 malam. That’s how hardworking he is. Cuma saya jadi penasaran, terus gimana maintain hubungan sama istrinya ya? Well, the perks of being an ‘entrepreneur’, saya yakin dia bisa mengatur waktu dengan efektif agar semua proyeknya bisa berjalan dengan baik. Jadi gimana time management kamu, Prim? *melipir

Liburan saya di Surabaya dan Malang diisi dengan semacam ‘camp’ untuk guru ngaji di sebuah vila di Taman Dayu, Pasuruan. Alhamdulillah, recharge iman. Lalu, karena saya dikunjungi oleh Mbak Diah – roommate saya waku di Jogja dulu – kami pun berjalan-jalan ke Kampung Warna-Warni dan Batu Secret Zoo. Saya juga menyempatkan diri untuk takziyah ke rumah sahabat saya waktu S1, Laily, yang duluuu rumahnya sering saya inepin kalau lagi bosan di kos. Makanya lumayan sedih juga ketika dapat kabar ayahnya meninggal. Huhu. Semoga Allah berikan tempat terbaik untuk ayahnya Laily; dan juga kesehatan untuk orangtua kita semua yang masih hidup. Aamiin.

Sekembalinya ke Bali, saya mengisi akhir pekan lalu dengan menjadi panitia pada kajian Ustaz Hanan Attaki di Denpasar. Cannot really say that he is my favourite, but I learned from him in regards to provide a safe place for millennial muslims who want to explore Islam. No judgmental, portraying ourselves as ‘young’ and ‘fun’, and emphasizing in how practicing Islam is actually pretty easy.

Selanjutnya, seminggu kemarin merupakan salah satu minggu yang berat karena ayah saya operasi multiple lipoma; dan sahabat saya, Meidika Rahmadiaji, meninggal. It was two shocking moments because my dad didn’t tell me before; and I was late for calling Meidika’s mom. I supposed to call her that night, right when I found out that he is hospitalized… But we can’t control the destiny, and once again I need to ask you, my readers, to recite Al-Fatihah for Meidika. Thank you.

Meidika was my very first volunteer friend in UWRF2014. He is so cute and nyablak, tapi dia sering banget membantu saya. Dari mulai proofread grammar CV saya, sampai menyediakan tempat tinggal buat saya selama saya mengerjakan tesis di Jakarta. I feel so regretful because we rarely talked this year. I miss him already as now I won’t find he called me di siang bolong, screaming as he got frustrated with his love life. In the same time, I was grateful to get introduced to his family, saya bertekad ke depannya akan tetap menjaga silaturrahim dengan mama dan adiknya. Insya Allah. 

Apakah ‘roda kehidupan’ saya berhenti di situ? Cencu cidak. Karena sehari sebelum meninggalnya Meidika, saya bertemu dengan mbak Elita, pemilik Elita Kerudung, merek paling heitsss di Yogyakarta dan memang favorit saya. Ceritanya mbak Elita baru ikut workshop bisnis gitu, terus jalan-jalan di Ubud. Rezeki saya, mbak Elita belum booking tempat menginap malam itu. Dan mau aja lhooo, nginep di kosan saya yang sederhana. Alhamdulillah, semalaman saya dapat tips-tips bisnis dan jadi percaya diri buat jalanin Muslimah Sinau dengan lebih serius.

Last but not least, hari Minggu ini saya menghadiri pertemuan pertama Kelas Eksekutif Yukngaji Bali. Ya Allah, bersyukur banget dikasih kesempatan buat ikut. Bersamaan dengan KEY, saya menjadi murid di kajian online Bengkel Diri via WhatsApp grup (sudah lewat pertemuan ketiga). Mantap bukan, Pemirsa? Tapi enggak boleh mengeluh capek, belum pantes! Masih banyak hak Allah yang belum saya tunaikan, masih banyak dosa yang belum saya tebus, masih banyak permasalahan umat yang ingin saya bantu selesaikan. Bismillah, bismillah, bismillah; so now, let’s take some rest and hopefully we’ll have a great week ahead. 😄

Lots of love,
Prima

Tuesday, August 14, 2018

Ubud Journal #8


Wow, is it even real? Minggu ini saya memasuki dua bulan tinggal di Ubud (sejak 17 Juni 2018), dan pada akhirnya saya harus ‘menerima kenyataan’. Maksudnya apa, Prim? Sejak awal tiba di sini pun saya sudah bersyukur, tapi sekarang saya lebih bisa legowo dan menerima apapun keadaannya. Hujan, panas – dinikmati. Jalanan macet karena upacara, makanan mahal karena ternyata restorannya ‘khusus’ bule, motor mogok karena motor sewaan kan jarang diservis… Ya gitu deh, sekarang senyumin aja deh. Alhamdulillah for everything~~~

Yang lebih Alhamdulillah lagi, minggu lalu saya mulai mengajar baca Alquran untuk beberapa orang di sini. Sempat malu dan takut mau nge-post di grup Facebook-nya para perantau, tapi terus Bismillah aja deh. Dan ternyata peminatnya banyak! Sekarang saya batasi 4 orang dulu, karena ada beberapa hal lain yang harus saya kerjakan. But I am truly happy, and it’s the kind of happiness that… I don’t know, I can only pray that it brings me closer to Allah, aamiin.

Setelah mengisi malam hari dengan mengajar Alquran, ostomastis pada akhir pekan saya sudah menggelepar bak ikan yang loncat dari akuarium. Tapi rencana ke Denpasar tetap harus dijalankan dong, secara mau bergaoool. Hla kok, semua jalan utama untuk keluar dari Ubud MACET CET CET. Sesudah menghabiskan 1 jam sendiri untuk mencari jalan keluar (dan enggak nemu jalan yang agak longgar), saya pun berbalik arah ke Jl. Sriwedari, mampir ke tempat kerja seorang teman yang dulu pernah mendampingi saya di World Muslimah Award 2014. It’s funny how the world sometimes feels too small; and yes we had a very nice Saturday night. Ngobrol ngalor ngidul, ngopi sampai kembung, ditutup dengan makan mie ayam. Heuheu.

Hari berikutnya, karena hasrat mager melanda, saya pun hanya utak-atik laptop untuk mengecek persiapan proyek-proyek Muslimah Sinau dan sudaaah, akhir pekan pun habis. Hiks hiks. What about you, do you always plan your weekend ahead, or just simply take a lot of rest and do whatever you want to do?

Aside of the weekend affair, minggu ini Ubud Writers & Readers Festival merilis full lineup dan saya sangat bersemangat!!! Semoga lancar, semoga dimudahkan oleh Allah sampai selesai acara, dan semoga membawa manfaat untuk karir saya (khususnya) dan para audiens (pada umumnya). Wish us luck, and have a great week ahead! 

Lots of love,
Prima

Tuesday, August 7, 2018

Surat untuk Anakku (3)

Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh,

Anakku tersayang,

Apa kabar?

Ibu belum terlambat kan, menulis surat untukmu? Atau kamu sudah menunggu-nunggu surat dari ibu? Memang sebenarnya tidak ada hari spesial pada bulan Juli dan Agustus, tapi ibu hanya mengacu pada surat pertama yang ibu kirim pada tanggal 11 Agustus 2014. Entah apa yang terjadi 2 tahun yang lalu, surat kedua ibu kirim lebih cepat. Tadinya ibu berharap tidak perlu menulis surat untukmu tahun ini, tapi qadarullah kita belum bertemu juga. Hmmm, setidaknya ibu masih bisa menyapamu lewat surat ini, sembari menguatkan teman-teman dan saudara/i ibu yang juga belum dititipi amanah anak oleh Allah.

Ya, ya, ya. Ibu tahu kamu pasti sudah mengintip, kalau beberapa hari yang lalu ibu menulis surat yang lumayan panjang untukmu. Tapi setelah ibu baca lagi, surat itu sarat kesedihan. Ibu tidak suka nada bicara seperti itu, seolah-olah ibu sedang ‘memarahi’ Allah atas kegagalan usaha ibu untuk menebusmu. Ibu yakin ibu belum gagal, Nak. Ibu mungkin hanya sedang mengambil jalan memutar. 

Ibu jadi ingat, saat ibu masih kecil, ibu, nenek, dan sopir melakukan road trip ke Jakarta (dulu kami sering melakukannya). Lalu ibu berkata kepada Pak Sopir, “Pak, aku lebih suka kita lewat jalan tol. Lebih cepat dan enggak macet.” Tapi nenek menyanggah, “kalau lewat jalan tol terus, Pak Sopir bisa mengantuk karena jalannya lurus-lurus saja. Sesekali harus lewat jalan biasa agar kita juga bisa melihat pemandangan berbeda.”

Waktu itu ibu tidak paham perkataan nenek, tapi lama kelamaan ibu sadar, tak peduli seberapa jauh jalan yang harus kita lewati, jika Allah sudah menakdirkan maka kita akan tiba di tempat tujuan.

Seperti keadaan ibu saat ini. Ibu sedang berdomisili di Bali, membantu penyelenggaraan Ubud Writers & Readers Festival 2018 – setelah tiga kali menjadi relawan. Ketika ibu melakukan hipnoterapi karena didiagnosis depresi awal tahun ini, ibu membayangkan Ubud sebagai tempat yang paling membahagiakan. Dan disinilah ibu sekarang, mengurusi data-data international speakers, sambil tetap mengerjakan pekerjaan dari kantor Jakarta.

Oh ya, maaf ya, ibu sempat putus asa menghadapi hidup ini. Ibu sempat hilang harapan akan kamu, ayahmu, bahkan diri ibu sendiri. Akan tetapi, ibu belajar untuk menjadi hamba yang lebih bersyukur, Nak. Hamba yang berupaya memahami bahwa Allah tidak hendak menghukum ibu. Allah justru menyayangi ibu dengan menghindarkan ibu dari ketetapan-ketetapan yang tidak mendekatkan ibu denganNya.

“Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan.” (Q.S. Luqman (31): 22)

Pengobatan dan perawatan selama depresi itu justru mendorong ibu untuk lebih berbaik sangka kepada Allah. Ibu pun berhasil menerbitkan buku tentang perjalanan spiritual ibu, judulnya Perjalanan Menuju Cahaya. Apa, kamu ingin mengganti namamu menjadi Cahaya? Baik, nanti ibu diskusikan dengan ayahmu ya.

Anakku tersayang,

Percaya pada ibu, percaya pada Allah. Kalau hingga hari ini kita belum berjumpa – dan bahkan ibu pun belum berjumpa dengan ayahmu – pasti ada rahasia yang indah. Allah memberi kesempatan ibu berbaikan dengan kakekmu setelah sekian lama berseteru; Allah menggugah ibu untuk mendampingi lebih banyak orang mewujudkan karyanya melalui Muslimah Sinau (iyaaa, kamu tahu sendiri ini mimpi ibu dari beberapa waktu yang lalu); Allah memberi kekuatan ibu untuk menjadi pengajar Alquran. Semuanya berasal dari Allah, Nak. Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar.

Nah, sekarang waktunya ibu pulang kantor dan bersiap salat magrib. Ibu akan terus doakan kita dan ayahmu – siapapun ia, semoga Allah pilih seseorang yang menuntun kita ke surga ya Nak; dan semoga Allah mampukan ibu untuk jadi pendamping yang menguatkannya dunia-akhirat.

Love you as always,
Ibu

Monday, August 6, 2018

Ubud Journal #5 - #6 - #7

Wow, tiga minggu terlewatkan tanpa menulis blog post… Sometimes I wonder if my days are THAT busy because most of the time I wake up at 8AM, rush to the office, go home at 6PM, and doing nothing until morning. Ya enggak doing nothing juga sih, seringnya saya ngaji, kadang nulis buku harian (do you guys still write – and I mean, by hands?) atau baca buku, kadang ya capek aja terus goler-goler di tempat tidur menatap langit-langit kamar sambil berharap lagi ada di mana gitu (I would love to say ‘Jakarta’ but if that’s for work, saya langsung hilang mood). Jadi ingat, awal saya tiba di Ubud, saya berencana untuk menghadiri acara-acara yang di-share oleh para perantau di grup Facebook (yeah we have that kind of group). Tapi ketika sore menjelang, mendadak males aja gitu. Terus ngeliat kasur di kos rasanya, “oh sayangku… I miss you so much.” LOL.

Btw, do you guys know if I am running 2 full time jobs at the moment? Well, I didn’t know how I could decide to just do those stuffs, but I really want to optimize my time. Enggak setiap saat saya bisa tinggal sendiri dan bebas melakukan apa yang saya mau, jadi saya pikir saya harus memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. However, I know there will be a moment when I have to let go some things. And surely I will choose to focus on Ubud Writers & Readers Festival 2018 because some personal reasons. Not because the job seems glamorous – definitely, because if you see what I am doing here, you might laugh at me. Like… “masa lulusan S2 kerja gitu?” But hey, saya enggak mau meremehkan pekerjaan apapun. Yang penting halal, gajinya cukup buat menghidupi diri sendiri, syukur-syukur bisa bantu orangtua walaupun sedikit, dan saya dapat apresiasi yang saya butuhkan. Untuk yang terakhir, mungkin suatu hari nanti saya akan cerita – mungkin juga tidak. Rasanya susah bercerita tentang hal ini tanpa menjelekkan satu-dua orang. Jangan ditanya deh, biar enggak semakin kzl. (Siapaaa juga yang mau nanya…)

Terus kenapa masih menulis Ubud Journal di blog? Jujur, buat kenang-kenangan kalau sewaktu-waktu saya enggak tinggal di sini lagi. Karena sampai detik ini pun saya belum menentukan apakah saya akan stay di Bali setelah kontrak berakhir, atau pindah ke kota lain. Sebenarnya saya benci mengakui bahwa Jakarta adalah pusat dari alam semesta. Toh saya masih bisa ‘menghindar’ dari keharusan tinggal di Jakarta, meskipun memang pekerjaan saya sejak tahun 2016 dapetnya dari Jakarta juga. Tapi gimana yahhhhh, I am seeing myself as a person who started from ‘zero’ again. I need to do a few things regarding my goals, and most likely it has to be done in Jakarta. Mau cari network, audiens, atau bahkan investor itu lebih mudah di Jakarta. Berdasarkan pengalaman saya tinggal di Surabaya, Yogyakarta, lalu Malang; ya memang Jakarta is the best place to actualize your dream. Huhuhu.

Anyway, tiga minggu terakhir saya masih lari-lari kesana kemari. Pada hari Minggu, 22 Juli saya ke Denpasar untuk kajian pernikahan dan event-nya Hijab Sister Bali, lalu kembali ke Ubud pada malam hari. Alhamdulillah dapat teman-teman baru, dan mulai akrab dengan teman-teman di Yuk Ngaji Bali. InsyaAllah, saya akan ikut kelas yang mereka adakan pada bulan September-Oktober. Oyaaa, saya juga ikut kajian online dari Bengkel Diri yang akan dimulai pada tanggal 20 Agustus 2018. Wow, semakin sibuk yaaa Prima.

Lalu Sabtu minggu lalu, tanggal 28 Juli saya ke Jakarta untuk 45 jam saja. Jangan kaget, Pemirsa. Saya pernah ke Jakarta tiba pada pagi hari dan pulang malamnya, ‘hanya’ untuk menghadiri pernikahan teman. Makanya sering dimarahin orangtua, kayaknya duit saya habis buat beli tiket. Hix hix. Kali ini, saya ke Jakarta untuk menjenguk mamanya teman (teman apa teman… :p), dan menghadiri Jakarta Modest Fashion Week. Mending kalian follow Instagram saya deh, sekaligus Instagram Muslimah Sinau, biar bisa dapat update dengan foto/video. Soalnya saya malesssss banget kasih image buat blog. Cari waktu buat menulis dan menyelesaikan 1 blog post aja udah perjuangan tersendiri. :(

Long story short, Jumat malam kemarin saya ke Denpasar buat komplain ke XL Center, berakhir nongkrong sama teman sampai jam 2 pagi sambil makan cokelat (girls time), nge-mall, dan balik ke Ubud hari Sabtu sore untuk ikut bedah buku Lelaki Kantong Sperma. Hahaha, kapan-kapan saya ceritain kenapa saya mau baca dan apa kesan saya tentang buku ini.

For now, let me get back to my job and Muslimah Sinau. InsyaAllah tahun ini ada DUA project besar yang akan launching, and I am sooooo excited. Semoga Allah mudahkan, semoga Allah ridai, dan semoga Allah menerima ini sebagai amal baik. Aamiin.

Have a nice week ahead,
Prima

Tuesday, July 17, 2018

Ubud Journal #3 & #4

Dua minggu terakhir, bukan hanya pekerjaan yang menjadi semakin banyak dan berat, ada tantangan lain yang harus saya hadapi: suhu Ubud menurun secara drastis! Pada siang hari tentu saya sangat menikmatinya, apalagi kalau lagi puasa. Tetapi pada pagi dan malam hari, ya Allah, ingin rasanya enggak mandi karena saya enggak punya water heater. Namun apa daya, daripada teman kantor komplain dan saya enggak bisa tidur, ‘terpaksa’ saya mandi cepat-cepat. Lebih dari 10 menit di kamar mandi, berpotensi bikin sakit demam (dan sebenarnya badan saya sudah panas-dingin sejak tiba di Ubud sebulan yang lalu).

To be honest, saya merasa kasihan kepada para turis yang tidak bisa menikmati Ubud dalam keadaan hujan. Kasihan bok, sudah jauh-jauh dari Amerika/Eropa terus enggak bisa kemana-mana. But anyway, dari sononya Ubud is indeed a place to rest, jadi kalau cuaca begini rasanya ingin selimutan terus sambil pelukan… Sayang sekali saya hanya bisa memeluk agama. Wkwk.

Saya juga kembali sibuk mengurusi Muslimah Sinau, karena saya ingin sekali melihat akun ini bertumbuh. Mohon doanya ya, dan mohon saran kalau ada yang ingin Sister lihat di akun tersebut. I want it to be one-stop place to gain Islamic insights, as well as offering Islamic-related activities. Makanya akhir-akhir ini saya sering mematikan data Internet pada petang hari agar saya bisa berkontemplasi, what do I really need to learn in order to make everything accomplished well? Saya juga sedang butuh memperbaiki koneksi dengan Allah, karena kalau banyak mau ya kudu banyak doa dooong.

Sementara akhir pekan saya tetap seru seperti biasa. Meskipun belum sempat berwisata layaknya seorang turis beneran, tapi saya cukup menikmati beberapa event, seperti melihat prosesi Ngaben di Banjar Padangtegal Ubud, which is Ngaben massal yang diadakan setiap 5 tahun sekali. Jadi yang ikut ada 100-an orang (atau jenazah lebih tepatnya). Attending this event makes me remembering death in another way. Ada ‘tuntutan’ agar kita jadi orang baik selama hidup, agar ketika kita meninggal nanti, orang-orang yang kita tinggalkan akan ikhlas me-ngaben-kan kita. Begitu yang saya pelajari dari Ibu Kos yang beragama Hindu. Btw, yang di-aben adalah bapak iparnya General Manager di kantor, jadi yaaa anggap aja takziyah. Hehe.

Selepas hari Minggu, hari Senin lalu saya menghadiri pesta ulang tahun Ibu Bos. Berhubung Ibu Bos punya restoran dan homestay, tentu saja makanan yang disajikan sangatlah enak… Kayaknya sih, soalnya saya enggak banyak makan (haha, you know why). Tapi saya suka banget dengan kentang panggangnya, lagi mikir itu kentang biasa atau apa, kok manis… Hmmm.

Lalu seminggu berjalan dengan cepat dengan hujan di sana-sini, hingga saya pun batal jogging di Campuhan pada hari Sabtu pagi, huhu. Padahal saya sudah sangat bersemangat dan membayangkan bisa PP sebanyak 4 kali. Soalnya pengin banget pakai dress lucu pada pernikahan saya perhelatan UWRF18 akhir Oktober, jadi mau enggak mau ini sungguhan olahraga (walaupun cuma jogging) dan mengurangi gula. Usaha lainnya, ntar dulu deh. Kalau sudah bisa cut off minuman manis sepenuhnya, baru lanjut ke langkah berikutnya.

Salah satu hal paling membahagiakan bulan ini adalah, hari minggu lalu saya menghadiri rihlah bersama Yukngaji Bali. Ternyata mencari kajian Islam di Bali ini enggak susah, hanya jarang sekali di sekitar Ubud/Gianyar. Kalau enggak di Denpasar, ya di Klungkung. Kebetulan Yukngaji Bali yang merupakan cabang dari komunitas hijrah FAST sedang membuka pendaftaran untuk KEY (Kelas Eksekutif Yukngaji). Saya sudah daftar, dan insya Allah nanti bulan September akan mulai belajar lagi tentang Islam dari aspek aqidah, sejarah, dan dakwah. So excited!

Apa lagi ya cerita dua minggu ini? Kadang memang membosankan sih, as I said meskipun judulnya tinggal di Bali, lain-lainnya sih tetap sama. Kudu ngosek WC, nyapu-ngepel-nyuci baju, gitu deh namanya aktivitas sehari-hari kayak gimana sih, Sister… Bedanya, sekarang saya kembali tinggal sendiri sesudah 6 tahun jadi saya punya lebih banyak kesempatan untuk berkonsolidasi dengan diri saya. Percayalah, pada dasarnya saya menyenangi kesendirian dan sering butuh ‘istirahat’ setelah berinteraksi dengan banyak orang. That’s why I am enjoying this solitude. I’d like to go home to my lovely room, pray and recite Qur’an, read books, and sleep. Kalau kata teman saya, “puas-puasin deh, sebelum meniqa dan punya anak, dan lu enggak akan bisa tidur nyenyak lagi.” Hehehe.

Well, that’s all for these 2 weeks. There will be more excitement as more of my friends will come to Ubud this week, and I will go to Jakarta next weekend. Have a nice week ahead, fellas!

Lots of love,
Prima

Saturday, July 7, 2018

How Does It Feels to be a UWRF Volunteer?

“Apa yang bikin mbak Prima balik volunteering di UWRF lagi dan lagi?”

Pertanyaan itu dilontarkan oleh Gehitto, sesama volunteer Ubud Writers & Readers Festival (UWRF), yang juga ikutan di mobil Akid pada perjalanan ke Bali. Seperti saya ceritakan sedikit di post My Life After Graduation, tahun lalu saya kembali ke UWRF setelah tahun 2016 absen karena mengikuti konferensi media dan komunikasi di Yogyakarta. Memang alasan saya ikut Akid naik mobil dari Jogja ke Bali adalah karena keputusan untuk datang ke UWRF17 agak mendadak. Berhubung saya belum beli tiket pesawat, saya pun mengiyakan tawaran Akid untuk mengarungi jalan darat menuju Bali.

“Hmmm, I don’t know. Kamu harus ngerasain sendiri.”

Sampai sekarang pun saya masih susah menjelaskan betapa ‘magis’-nya UWRF sehingga membuat saya selalu ingin kembali. You have to experience it yourself. Dan biar dikata sudah berkali-kali ke UWRF, selalu ada sesuatu yang baru menanti di sini.

Tapi mengapa harus menjadi volunteer? 

Nah ini, mungkin zaman memang sudah berubah. Ketika saya kuliah dulu, saya cenderung fokus ke akademis dan kegiatan-kegiatan di kampus. Iya sih, saya bekerja part-time. Sesekali ikut lomba debat Bahasa Inggris atau kompetisi menulis. Tapi sisanya, saya tidak terlalu banyak melihat ‘dunia’ di luar kampus saya. Sempat saya heran ketika semakin ke sini, usia volunteer UWRF semakin muda. Tahun lalu ada yang nyeletuk, “busyet, mbak Prima umur 2x?? Aku dong, masih 19 tahun.” Rasanya saya pengin ngedorong dia ke jurang di belakang kantor UWRF. Zzz.

But it really is happening. Mungkin kids jaman now lebih terbuka dengan kesempatan-kesempatan di luar kampus, ditambah lagi punya orangtua yang mendukung secara finansial. And it’s good. Sebagai orang yang bekerja di bidang manajemen SDM, let me tell you: recruiter would looove to have a candidate who had done LOTS of stuffs at college times while maintaining good GPA. Kamu mahasiswa kupu-kupu, enggak punya prestasi akademis, dan skill-mu juga rata-rata? B Y E.

However, setelah tiga kali menjadi volunteer dan saat ini (Alhamdulillah) menjadi staf, I think I can give you better insights about why you have to volunteer for UWRF. 

Wednesday, July 4, 2018

Ubud Journal #2

Sudah hari Rabu, telat banget!!! Padahal saya berharap bisa mem-publish Ubud Journal (selanjutnya akan saya sebut begini) setiap hari Senin. Hufffttt.

Maklum, hampir sama dengan minggu pertama, minggu kemarin berjalan dengan sangat cepat. Memasuki minggu kedua puasa (minggu pertama qadha, minggu lalu Syawal); saya merasa tubuh saya lebih sehat karena pola makan yang terjaga. Berhubung saya sudah pindah ke kos dan tidak terlalu berminat untuk masuk dapurnya Ibu Kos, maka saya memilih sahur yang praktis: roti atau buah. Pernah juga sekali hanya sahur air saja karena terlambat bangun. Alhamdulillah I’m done with it and now taking a short break before accomplishing another target for sunnah fasting this year. Seingat saya, sejak Idulfitri tahun lalu sampai Ramadan tahun ini, saya tidak banyak melakukan puasa sunah (atau tidak sama sekali?). Sedih deh, karena menurut saya ibadah puasa sunah itu amal tambahan yang nilainya sangat besar. Bukan hanya pahalanya, tetapi puasa bagi saya adalah tentang “harapan”. Bahwa suatu waktu dalam hari itu saya akan berbuka; bahwa suatu hari nanti saya akan menerima ganjaran dari apa yang saya usahakan sesudah ‘berenang-renang ke hulu, berakit-rakit ke tepian’. Aamiin, insya Allah.

Selain pola makan yang cukup teratur dengan kalori yang tidak sebanyak biasanya (bilang aja ‘rasanya gue udah kurusan lho, Pemirsa…’); saya juga mulai memperbaiki pola tidur yang tadinya berantakan. Sebenarnya saya orangnya pelor, tapi entahlah, waktu di dormitory rasanya sering terbangun karena mungkin kurang nyaman. Sekarang di kos Allahu Akbar, bisa enggak bangun-bangun kalau tidur sesudah Subuh (ups). Semoga kebiasaan buruk ini segera sembuh, bisa disamblek Bapake kalau Beliau tahu, mihihihi.

Kemudian, akhir pekan kemarin saya menyempatkan pergi ke Denpasar untuk melihat Unspoken Poetry Slam di Rumah Sanur. Saya punya kenangan di Rumah Sanur, tepatnya pada UWRF tahun 2015 dimana saya mendampingi penulis-penulis pada sebuah sesi Fridge Event di sini. Mungkin saat itu saya kelelahan atau gimana, waktu perjalanan dari Ubud ke Sanur saya mual parah, dan sesampainya kami di sana, saya muntah-muntah. Panitia event pun segera menyajikan teh panas untuk saya, sehingga saya bisa ‘berdiri tegak’ sepanjang dua jam acara. Gara-gara dedikasi saya, Nathalie Handal, pembicara sesi itu mengingat saya dengan baik dan kami pun banyak ngobrol di jalan pulang. Bahkan saat kami bertemu lagi di Bandara Ngurah Rai selesai UWRF, dia mentraktir saya ngopi. Hehe.

Selepas maghrib, saya mengejar salat magrib dan isya di Masjid Al-Ihsaan di Komplek Grand Inna Bali Beach Sanur, lalu wusss ngebut ke Soto Cita Rasa Cak Di karena kelaparan. Ingat ya, yang asli namanya Cak Di, bukan Cak Ri, Cak Ran, atau Cak Kecak (itu sih tarian, krik krik). Sudah kenyang, lalu pulang? Oh tentu tidak, saya ke Jl. Teuku Umar untuk menemui teman S2 saya yang pindah ke Bali juga. Lalala yeyeye. Mohon maaf, kegiatan malam ini tidak dapat saya publikasikan kepada manteman sekalian. #jagaimage

Saya terbangun pada waktu subuh dengan dada yang berat karena sesak napas parah. Sepertinya saya alergi terpapar polusi dan juga bulu kucing di kos temannya teman saya. Lho bukannya kamu punya kucing di rumah ya, Prim? Iya kan kucing saya tidak tidur sama saya, dan kos temannya teman saya tergolong sempit jadi bulunya di situ-situ aja. Menjelang pukul tujuh saya tidak dapat lagi menahan sesak dan hampir membangunkan teman saya untuk minta diantar ke rumah sakit. Tapi Alhamdulillah saya masih mampu motoran ke mini market terdekat untuk minum cokelat panas, dan segera merasa lega (bisa jadi juga karena menghirup udara segar di pagi hari). Daripada balik ke kamar dan tidur lagi, saya pun pergi ke… Pantai Batu Belig.

Random banget? Enggak juga, karena tidak ada pantai di Ubud, jadi memang saya sudah berencana ke pantai selama di Denpasar. Hehe.

Sepulangnya dari pantai, saya dan teman sarapan lalu belanja di Carrefo*r tanpa mandi, LOL. Sesudahnya baru saya mandi dan cuss ke agenda berikutnya yaitu bertemu dengan teman lain, namanya Indri. Berhubung Indri orang Bali, saya pun memanfaatkan pertemuan ini dengan menanyai dia tentang obyek wisata di Bali. Pengin banget bisa ke Nusa Penida, atau mengikuti itinerary Kak Teppy di sini. Semoga ada waktu, duit, dan partner. Kalau ada partner hidup lebih baik lagi. Bisa ajaaa, Primaaa.

Menjelang waktu asar, saya pun pamit agar bisa menunaikan salat di Masjid At-Taqwa Polda Bali. Tahun 2016 saya pernah salat di sini sama Bapake dan adik-adik saya. And you know what, it made me cry inside. Sometimes we take things for granted and that’s what happened with me and the mosques. Rasanya dengar azan sesudah dua minggu itu… hati langsung adem. Masya Allah. Semoga Allah berkenan membukakan hati saya agar selalu dekat denganNya meskipun berjuang sendiri di Bali.

So, untuk memudahkan kamu yang mencari masjid di Bali, berikut daftar masjid yang saya kunjungi akhir pekan lalu:
1. Masjid At-Taufiq, Kompleks Brimob Tohpati
N.B.: masuk kompleks ini agak ribet, harus setor KTP dan lepas helm selama di kompleks. Tapi masjidnya tanpa dinding, jadi semriwing.
2. Masjid Al-Ihsaan, Grand Inna Bali Beach Sanur
Jl. Hang Tuah, Sanur Kaja, Denpasar Sel., Kota Denpasar, Bali; letaknya persis sebelum gerbang masuk Pantai Sanur. Masjidnya gede, cocok buat rombongan, dan tanpa dinding juga.
3. Masjid At-Taqwa, Polda Bali
Jl. Wr. Supratman, Sumerta Kauh, Denpasar Tim., Kota Denpasar, Bali; di sini agak susah parkir mobil terutama kalau weekend (karena di teras luar masjid hanya tersedia parkir motor jadi harus masuk kompleks), tapi bismillah aja kan mau salat bukan lain-lain.

Sementara itu dulu daftar masjidnya, insya Allah saya kabari lagi kalau besok-besok ke masjid lain. Makanya, follow Instagram saya: @primaditarahma untuk tahu cerita saya di Bali. :) :) :)

Lots of love,
Prima

Friday, June 29, 2018

Tentang Menjadi Istri (Bagian Dua)

“Jika seorang wanita menunaikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya; niscaya akan dikatakan padanya: “Masuklah ke dalam surga dari pintu manapun yang kau mau”.” (HR. Ahmad dari Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu’anhu dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albany).

Selain langsung mencuat jadi #1 Popular Post of the week, blog post sebelumnya menjadikan saya dicaci-maki oleh sebagian netijen. Oalah yooo, mau memberikan wawasan aja setengah mati susahnya. Bahkan ada yang komentar, ‘cobalah sesekali menulis hal-hal baik tentang lelaki, agar lelaki yang baik mendekatimu.’ Hmmm, sebenarnya kurang tepat juga sih kalau ngomong begini. 9 dari 10 lelaki (CIEEEH kayak ada sebanyak itu, Prim) yang mendekati saya, alhamdulillah baik-baik kok. At least mereka bukan bandar narkoba atau koruptor, dan bukan penjahat kelamin juga. That’s one good thing, right? Perkara cocok-enggaknya, nah itu yang kadang tidak semua lelaki (saya pun) bisa menerimanya sehingga end up badly. But anyway, kali ini saya coba sampaikan tulisan penyeimbang yang saya karang sesudah saya tidak terlalu emosional lagi. Semoga dapat diterima dengan baik, aamiin.

Sebagian besar dari kita, muslim-muslimah, pasti pernah dengar hadis di atas setidaknya satu kali dalam hidup. Alhamdulillah, perempuan diberi kedudukan yang sangat tinggi di Islam, serta dihormati dan dihargai layaknya manusia (bukan barang seperti pada zaman jahiliyah dulu). Alhamdulillah, perempuan diberi privilege untuk ‘santai’ di rumah, karena itulah tempat terbaik perempuan (pada dasarnya).

Namun sebenarnya, apa benar istri bisa ‘santai’ saja di rumah? We all know, yang namanya pekerjaan rumah tangga enggak akan ada habisnya. Dari mulai ngebersihin rumah, urusan pakaian, dan belum lagi menjaga hubungan dengan tetangga. Dulu sih ada siskamling ya, jadi para warga – baik lelaki maupun perempuan – masih guyub dengan para tetangga. Kalau sekarang rasanya bapak-bapak sudah enggak begitu aktif (CMIIW); sehingga biasanya ibu-ibu yang wajib kudu harus ikut arisan PKK karena memang banyak pengumuman penting ‘disiarkan’ melalui arisan (pengalaman pribadi). Nah, jadi wajar kalau ‘ibu rumah tangga’ doesn’t simply means ‘perempuan yang ongkang-ongkang kaki di rumah’. Contoh nih, urusan dapur aja. It’s not just cooking and that’s all. Kudu mikir menu dulu, belanja ke pasar/tukang sayur, masak, cuci piring, nyiapin makanannya, cuci piring lagi, bersihin dapur. ‘Kasihannya’ istri, mereka mah nerima aja dikasih belanja berapa, mikir jumpalitan supaya suaminya bisa ganti menu tiap hari. Suami enggak perlu tahu dong, kan udah ngasih uang belanja…

“Kalau semuanya dilakukan dengan ikhlas, pasti enggak terasa berat kok, Prim.”

Iya, saya tahu. Saya hanya bermaksud memberikan gambaran kalau suami dan istri sama-sama punya waktu 10 jam dalam sehari: suaminya kerja (dan PP rumah-kantor), istri juga berjibaku dengan segala printilan ‘kehidupan’. Kalau kata teman saya, ini prinsip ‘saling’: suami berupaya memberikan yang terbaik untuk istri, istri pun demikian.

“Terus masalahnya apa, Prim?”

Begini, mari kita mengakui sebuah realita. Terkadang, yang namanya rumah tangga butuh pemasukan lebih dari sekadar apa yang bisa dihasilkan oleh suami. Suka atau tidak, kenyataan ini terjadi. Kita tidak bisa menutup mata, meskipun Allah sudah menjamin:

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. An-Nur (24): 32)

Thursday, June 28, 2018

Tentang Menjadi Istri (Bagian Satu)

Menikah dan punya anak itu BUKAN prestasi/pencapaian. Menikah dan punya anak itu pilihan; dan menikah-tidak menikah | punya anak-tidak punya anak punya konsekuensinya masing-masing. Dan ingatlah, bahwa apa yang menurut kita benar dan baik, belum tentu demikian halnya dengan pandangan orang lain.

Rasanya sulit untuk tidak emosional dalam menuliskan hal ini, karena begitu banyaknya penghakiman yang menuju kepada saya. “Ya kan kamu belum menikah, bisa ngomong gitu… Coba deh menikah, nanti pasti pandanganmu berbeda.” Well, to be honest, saya agak ‘senang’ karena belum menikah, karena saya bisa lebih banyak belajar dan berusaha membuat keputusan dengan matang.

“Halah itu kan pembenaran aja buat menghibur diri sendiri…”  Tuh kan salah lagi, memang maha benar netijen dengan segala firmannya. Eh maap saya juga netijen. But really, saya hampir enggak pernah nyinyirin pasangan menikah, kenapa banyak yang nyinyirin pilihan hidup saya untuk menjadi single (at least sampai ketemu orang yang tepat)? Plis jangan cuma nyinyir, bawain calon suami baru boleh nyinyir. Btw, saya maunya calon suami yang seperti Sheikh Hamdan bin Mohammed bin Rashid Al-Maktoum ya, enggak bisa kurang. Heuheu.

Anyway, blog post ini jadi semacam klarifikasi setelah status Facebook saya yang cukup kontroversial. Status tersebut mempertanyakan sebuah situasi yang sering kita jumpai bahkan pada masa modern seperti saat ini. 

Seorang lelaki yang ingin menikah, mencari istri yang ‘akan memprioritaskan keluarga dan anak’.

Sementara seorang perempuan yang ingin menikah, mencari suami yang ‘menghargai dirinya dengan segala karakteristiknya (termasuk impian-impiannya).’ 

While they try to communicate, lelaki dengan mudahnya menjustifikasi bahwa perempuan yang tidak bercita-cita menjadi ibu rumah tangga sebagai perempuan yang tidak solehah. Sementara si perempuan bingung, memangnya lelaki ini sesoleh apa sampai berharap bisa mendapatkan perempuan solehah luar dalam depan belakang atas bawah?

Berdasarkan komentar-komentar yang masuk pada status saya tersebut, saya melihat ada kecenderungan: sebagian kecil perempuan – yang pikirannya sudah dimajukan oleh zaman dan pendidikan – tidak senang menyerah dengan batasan-batasan patrarki (‘perempuan itu 3M: manak, masak, macak’); sementara sebagian besar laki-laki merasa tugasnya sebagai suami berhenti pada memberikan nafkah. Titik.

Mari kita mundur sejenak pada pola pikir yang ditanamkan oleh kebanyakan orangtua (kita). Perempuan berharap dinikahi untuk dibahagiakan; dan laki-laki berharap mereka akan dilayani dalam sebuah pernikahan. Seiring berjalannya waktu, suami lupa membahagiakan istri berarti mendengar ceritanya, memberikan waktu yang cukup, mengajaknya bepergian, dan mengungkapkan rasa sayang; dan istri lupa melayani suami pada aspek emosional dan intelektualitas. Mohon maaf, bahkan mungkin istri ‘lupa’ melayani suami di tempat tidur karena sudah terlalu lelah dengan pekerjaan rumah dan anak-anak; dan suami pun ‘lupa’ bahwa kelelahan istri ini sedikit-banyak disebabkan oleh andil dirinya.
Seorang rekan kerja di kantor saya dulu, adalah salah satu contoh lelaki paling brengsek yang pernah saya tahu. Dia bekerja, oke. Bangun tidur anak sudah rapi, dia antarkan ke rumah mertuanya, pulang kerja makanan sudah siap, sesudah makan malam dia pun nonton TV. Istrinya bekerja, oke. Bangun lebih pagi karena harus memasak sarapan dan bekal makan siang suaminya, sembari menyiapkan anaknya. Pulang kerja lebih cepat daripada suaminya, setibanya di rumah dia akan masak makan malam, mencuci piring, kemudian mencuci baju. Akhir pekan, si suami akan nongkrong dengan teman-temannya; dan istri harus menyetrika lanjut membersihkan rumah. Dan ketika saya memprotesnya, si lelaki mengatakan, “istriku mau kok melakukannya, kok kamu yang ribut?”

Janc*k, he is right. Perempuannya mau-mau aja kok jadi keset, kok saya yang enggak terima.

It leads me to a principle, that if I get married one day, I am gonna bring it to the table BEFORE we even say “I love you”. Sekali lagi, semua ada konsekuensinya. Mungkin kalau saya menerima jadi perempuan yang ‘biasa-biasa’ saja seperti istrinya rekan kerja saya itu, saya sudah menikah sejak beberapa tahun yang lalu. But I am still single, and I realize every minute of my life that it is because of my choice.

I really wish most men will realize that at the end of the day, it is women who always sacrifice more. Sebagai seorang anak yang dibesarkan dalam sebuah keluarga yang – setidaknya – selalu memberikan kebutuhannya (dan bahkan keinginannya), perempuan harus mau ‘tercerabut’ dan mengikuti suaminya. Ia harus bersedia mengubur mimpi-mimpinya demi mendampingi suaminya. Ia harus merelakan badannya yang semlohay untuk jadi nggelambyar dimana-mana demi memiliki anak. Pun ia harus setegar karang saat lingkungan mempertanyakan caranya merawat, mengasuh, dan mendidik anak-anaknya.

Benar, ganjarannya surga. Tapi egoiskah saya, ketika saya berupaya ‘menyadarkan’ calon pasangan bahwa tugas-tugas saya sebagai perempuan itu – bukanlah kewajiban, melainkan bukti cinta saya kepadanya? Tak patutkah saya meminta sedikit penghargaan? Salahkah saya merasa sakit hati jika mendengar lelaki mengatakan, “ya itu sudah kodratnya perempuan: mengurus rumah, membuat anak dan membesarkannya”? Apakah saya dianggap sebagai makhluk tanpa otak dan perasaan?

Yuk ah, belajar untuk lebih menghargai perempuan, terlebih yang sudah jadi istriMU, ibunya anak-anakMU, pasanganMU, teman tidurMU, pendamping hidupMU, pendukung terbesarMU. Ask her what she really wants, today!

Hugs to all strong women out there,
Prima

Monday, June 25, 2018

My First Week (of Living) in Ubud

Assalamu’alaikum Sister, gimana rasanya hari/minggu pertama kerja sesudah libur Idulfitri? Males males gitu yagaseeehhh. Tapi tidak berlaku untuk saya, sayangnya. Saya sekarang berdomisili di Ubud, yaaay! Dan langsung tancap gas buat kerja aja dong. Huhuhu. Alhamdulillah sih, secara yang namanya cari kerja memang susah (dan saya juga mengalami susahnya), jadi apapun itu kudu disyukuri. Yang penting halal dan berkah. *genjreng gitar* *lho kok jadi ngamen*

Nah yang namanya baru selesai Lebaran + pindahan ke pulau lain naik bis & kapal + menginap di dormitory selama seminggu + nyari kos + puasa bayar utang, bisa kebayang kan capeknya saya ("Prima mah capek mulu." - pembaca)? Makanya Sabtu kemarin saya tidur dari subuh sampai jam 10; terus setelah pindah ke kos lanjut tidur lagi dari jam 2 siang sampai hampir jam 6 sore. Malamnya enggak bisa tidur sampai jam 1 pagi, LOL. Belum lagi, Ubud diguyur hujan hampir setiap hari jadi kasur rasanya posesif banget sama badan ini. :)))))

Tapi ada sisi positif dari badan yang digeber habis-habisan, yaitu tidak terasa sudah lewat seminggu saya di Ubud. Wow. Belum terasa homesick atau nangis kangen ayah/mama/adik-adik, walau sedikit aneh aja saat sahur dan buka yang nemenin malah bule Amerika (pas sahur di dormitory). Kalau buka sih, seringnya sendiri, bikin pengin nyanyi “sudah terlalu lama sendiri…” *salaman sama Aji Kunto*

Jadi seminggu ini, Prima udah ngapain aja di Bali?

First thing first, perlu digarisbawahi saya ke sini untuk kerjooooo. Catet: kerjooooo. Kudu diulangi kayaknya: kerjooooo. Ya habisnya 11 dari 10 orang yang tahu saya pindah ke Bali pasti komentar: “enaknyaaa pindah ke Bali.” Lha tinggal di Bali itu enak kalau 1) liburan; 2) punya banyak duit. Sementara gaji saya juga enggak yang berpuluh-puluh juta gitu (belum), jadi saya harus cukup puas tinggal di kamar kos sederhana ala-ala homestay kelas melati. Kegiatan saya juga bukan yang tiap hari duduk-duduk shantay di pantai sambil menyesap orange juice; atau nongkrong sambil bikin #ootd di kafe-kafe instagrammable. NOT AT ALL. Yang ada, saya mampir ke Pantai Sanur pas udah gelap (telat nyampenya), kemudian makan malam di KFC. #toughlife

Yang namanya kerja di Bali ya hampir sama aja dengan kerja dimana-mana. Ngantor Senin-Jumat, dari pagi sampai petang, kalau mau berkegiatan yang lain ya nunggu malam atau akhir pekan. Sementara ini saya baru dua kali keluar Ubud. Hari Rabu pulang kantor ngebut ke Sanur nganterin seorang turis dari Vietnam yang pengin banget lihat laut, lalu hari Sabtu malam melipir ke Gianyar buat buka puasa. Secara warung-warung Jawa atau rumah makan Padang di Ubud belum ada yang jualan. Lumayan deh, makan ayam bakar dan terong penyet enak banget Masya Allah. 

Btw, setelah saya post di Insta story, ada beberapa followers nanyain tentang tinggal di dormitory. Actually this is not my first time, tahun 2014 waktu ke Kamboja saya nginep semalam di dorm. UWRF tahun lalu juga nginep tiga malam di dorm. Tadinya saya mau balik ke dorm itu lagi, tapi ketika saya browsing harganya kok naik, makanya saya memilih Bali Backpackers Inn.

As it costs me Rp. 40.000/night, I don’t really expect anything. Yang penting bisa taruh barang dengan aman, dan tidur+mandi dengan nyaman, sudah. Kelebihan Bali Backpackers Inn dibandingkan dorm yang saya inapi tahun lalu adalah, ada female dorm di lantai 3, terus bentuk tempat tidurnya mirip-mirip kapsul. Privasi lumayan terjaga dan ya itu menurut saya insya Allah aman karena enggak akan ada tamu yang “aneh-aneh” (secara space kasurnya lumayan sempit, apalagi buat bule). Selain itu, di lantai 1 juga ada common room lengkap dengan dapur (ada kulkas, kompor, toaster, dan microwave). Saya pun sempat sahur dengan kentang panggang karena memanfaatkan microwave, asik bener dah.

Kekurangannya, waktu saya ke situ Wi-Fi di lantai 3 lagi trouble, jadi kalau mau internetan kudu ke bawah. Berhubung itu juga dormitory murah meriah oye, beberapa tamu stay dalam hitungan minggu, bahkan bulan! Agak annoying apalagi kalau mereka ‘menandai’ tempat tertentu sebagai ‘milik’ mereka, jadi sungkan kalau mau duduk di situ padahal kan fasilitas umum ya. Terlepas dari itu, kembali lagi, hellooo ini 40ribu semalem lho. Dapat alas tidur dan atap aja kayaknya udah Alhamdulillah. Wkwkwk.

Apart of that, awalnya saya berpikir Ubud enggak terlalu spesial buat saya secara ini adalah ke-ENAM kalinya saya ke sini. Memang makan di kafe-kafe sepanjang jalan utama Ubud tidak pernah menarik hati saya (karena selain mahal, saya meragukan kehalalannya); akan tetapi, saya kemudian merasa akan ada kemungkinan untuk feel excited again after exploring the neighbourhood. Jadi bukan di Ubud-nya ya, tapi di sekitarnya. Saya belum pernah ke Tegalalang, Tampaksiring, Pura Tirta Empul, Bali Bird Park, dan masih banyak lagi. Saya juga berencana ke Nusa Penida dan Nusa Lembongan, waaah kudu ngatur jadwal (dan duit gaji) dengan ketat nih.

They say for once in a lifetime you do this kind of thing, like living in Bali (and people will see it as a ‘heaven’). But still, for a serious person like me, I’ll always put work (and then rest) in priority. Semoga aja saya enggak malas supaya bisa main ke berbagai tempat di Bali sebelum kontrak berakhir. Atau semoga saya dapat kerjaan lain jadi bisa lanjut tinggal di Bali sesudah UWRF. Atau semoga saya nikah (segera) dan suamik memutuskan untuk buka usaha di Bali. Atau… okay stop Prim, you need to live the reality. So, I’ll see you in Bali soon? ;)

Lots of love,
Prima
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...