Thursday, January 5, 2017

Moana: How Far Will You Go?


My first post in 2017! Oh ya, sebelum sister kangen sama saya (uhuk uhuk), saya kasih bocoran ya, kalau kemungkinan saya akan jarang blogging di The Primadita untuk beberapa bulan kedepan. Sejak tanggal 1 kemarin saya mencanangkan sesuatu yang berbeda, yaitu menulis buku harian. Yes, buku harian! Awalnya saya menulis sebuah surat untuk orang terkasih seseorang nun jauh disana, ternyata saya jadi ketagihan menulis dengan tangan (biasanya kan mengetik). Sebelumnya saya juga sempat menulis (rewrite) kisah hidup saya (#ceileh) dibimbing oleh Kak Ollie, and it felt really good. Akhirnya saya coba memanfaatkan notebook yang saya beli beberapa bulan lalu, dimana secara kebetulan ada tulisan ‘The Prima’ di sampulnya. Sayapun menunggu waktu untuk menulisi buku harian lagi dan lagi karena perasaan saya jauh lebih lega setelah menuliskannya. Kalau tidak salah, terakhir kali saya menulis dengan tangan itu saat World Muslimah Award 2014. Ada perasaan yang berbeda saat menulis, meskipun tentu saja mengetik jauh lebih cepat dan efisien – engga pegel-pegel pula. Akan tetapi, saya usahakan akan tetap blogging setidaknya seminggu sekali karena saya tetap punya hal-hal yang ingin saya bagikan untuk sister.

Misalnya tentang film yang saya tonton di penghujung tahun lalu. I counted on Diva channel as they aired Princess Diaries, Bridget Jones’s Dairy, Love Actually, Notting Hill, and many more. Old but definitely gold. Tapi saya tetap penasaran sama Moana, jadi saya terpaksa melipir ke bioskop terdekat. Sendirian. Duh ngenes. 

Saya pertama kali tahu Moana karena Maudy Ayunda mengisi soundtrack versi bahasa Indonesia. Lalu instruktur zumba saya menggunakan soundtrack aslinya sebagai lagu untuk cooling down. Dia bilang filmnya bagus banget – terus saya pikir, ‘yah anak mbak kan SMA, jadi masih ‘masuk’ ke film itu’. Tapi saya pikir-pikir lagi, sejauh ini kesan saya tentang film Disney itu bukanlah film anak-anak, tapi film remaja atau dewasa muda (gimana sih). Soalnya kan engga jarang filmnya tentang cinta-cintaan tuh. Mana pas saya baca, ada Dwayne Johnson yang mengisi suara salah satu karakter. Siapa yang sempat mengira Moana bakal pacaran sama Maui, hayo?

To be honest, tanggal 29 Desember itu bukan waktu yang tepat untuk nonton, apalagi Moana. Secara filmnya masuk kategori ‘Semua Umur’, terus waktunya liburan anak sekolah pula, jeng jeng, studionya didominasi anak-anak dan keluarga. And you know lah namanya anak-anak gimana sih, dari yang mulai lari-lari – padahal studio kan gelap yak – sampai nangis karena kaget sama beberapa adegan. Saya berusaha fokus ke film tapi terkadang gagal dan pingin marah-marah jadinya.. Tapi tetep lho ada yang nonton sama pacarnya, contohnya sebelah saya. Jadi seperti biasa, mbak-mbak bioskop + para penonton yang duduk satu baris sama saya pada kaget, “nonton sendirian?” YAELAH EMANG NAPA. Nonton sendiri is so #2017, you should try it once, trust me. 

Hari itu, saya sedang sangat-sangat emosional, ditambah pingin marah ke anak-anak yang mengganggu kenikmatan saya beribadah menonton, yang ada saya nangis bombay dari awal sampai akhir film. Berikut tiga hal yang bikin saya terharu sama cerita Moana.


“Thank You, Grandma!”

Sehari sesudah saya menonton Moana, saya bercerita ke nenek saya yang sedang berada di rumah tante saya. Saya jadi teringat ketika orangtua saya sibuk bertengkar dahulu kala, saya ‘diambil’ oleh nenek saya dan diasuh dengan penuh kasih sayang. Saking sayangnya, nenek bilang pingin nemenin sampai saya punya anak, baru ‘ikhlas’ meninggalkan dunia ini. Somehow nenek saya itu khawatir sama saya, tapi juga pingin saya pergi jauh mengejar impian saya. Saya pernah ‘bawa pulang’ cowok bule dan yang pertama kali menerima itu malah nenek saya. Antara rela dan engga, tapi katanya kalau memang sudah takdir saya untuk melanglangbuana bersama pasangan, mau gimana lagi. Apalagi sejak sepupu saya sekolah di Taiwan, nenek tahu banget saya juga ingin pergi...jauh... Ketika melihat hubungan Moana dan neneknya, saya trenyuh dan pingin cepat-cepat memeluk nenek saya. (Jadi ingat, salah satu tulisan saya yang pernah dimuat di majalah adalah tentang kedekatan saya dan nenek.)

Look for Someone Who Believes in You
Moana adalah seorang anak dari kepala suku Motunui yang bertekad untuk mencari solusi dari permasalahan yang dialami oleh warganya. Sebenarnya kalau menurut saya pribadi, inti ceritanya itu agak ‘bermasalah’, kayak dicocok-cocokin. Terutama ending-nya. Agak “eh gimana?” gitu. Tapi berhubung memang Moana ini bercerita tentang mitos dan kekuatan supranatural, jadi engga perlu logis sih. Hehehe.
Untuk kasus Moana ini, she actually feels confident that she can do it. Namun, ‘dibutakan’ oleh pengalaman buruk di masa lalu, ayah Moana tidak memperbolehkannya pergi melampaui batu karang. Tentu sister bisa menebak kan, siapa yang mendukungnya hingga berhasil menyelesaikan misi penyelamatan tersebut? Yup, neneknya.
Kadang kamu mengalami kejadian ini, saat kamu yakin kamu bisa melakukan sesuatu, but no one believe you. Seperti saat di tengah film, Moana bertanya-tanya “why sea chooses me?” Dia pun meragu, bahkan berniat untuk pulang. Lalu arwah neneknya datang dan meyakinkan dirinya. That’s why it is very important to surround yourself with people who support and motivate you. Bahkan saat kamu harus melakukan sesuatu yang rasanya tidak realistis sekalipun. Setiap orang punya momen atau mission impossible yang mau-tidak-mau harus dilewati jika mau maju. Kamu butuh seseorang yang bisa mendorong, menantang, dan mendampingimu selama proses ini.

Burn the Bridge and Never Look Back
Saya tahu saya menangis karena merasa kisah Moana merepresentasikan diri saya. Makanya lirik soundtracknya itu ngena banget buat saya. “How far I’ll go” adalah pertanyaan yang kerap kita tanyakan ketika kita hendak melangkah ke suatu tempat/tujuan. Kadang kita engga punya petunjuk apapun terhadap tempat/tujuan itu, yang kita tahu adalah it will be big. Sambil ketar-ketir juga. Persis seperti Moana. Dia engga tahu gimana mengendalikan kapal, atau dimana bisa menemukan Maui dan Te Fiti; yang dia tahu adalah dia mau menyelamatkan warganya.
Saya jadi ingat ketika saya resign dan mengikuti World Muslimah Award pada tahun 2014, lalu pindah ke Jogja tanpa tujuan yang pasti. Saya luntang-lantung sampai akhirnya mengiyakan tawaran S2 dari tante saya. It was difficult times but I’d rather go big than go back to Surabaya. Sekitar empat bulan lagi, insyaAllah saya akan ‘membakar jembatan yang lain’ dan saya sudah deg-deg-an dari sekarang. Terinspirasi dari Alessia Cara, I may only know what I can do once I really go. Wish me luck.


Tahun ini bukanlah tahun yang mudah, sepertinya. Namun seperti Moana, saya bersyukur punya orang-orang yang bisa diandalkan. Satu lagi, saya orang yang sangat yakin akan kemampuan diri sendiri hingga kadang terdengar terlalu optimis dan ambisius. Just like Moana who achieved her goal in the end of the story (because it’s a Disney movie after all), I know I will have my happy ending someday.

Lots of love,
Prima

4 comments:

  1. Aku belum nonton Moana, tapi sukaaaa banget sama lagunya hihi,.

    ReplyDelete
  2. Halo mbak, selama ini saya silent reader, hehe. Setuju banget tuh, salah satu hal yang wajib dicoba sekali seumur hidup yaitu nonton sendirian. Tapi saya belum seberani mbak Prima sih nonton sendirian disaat msa-masa liburan :"

    ReplyDelete
  3. Pengen ngajakin Marwah nonton ini deh,

    ReplyDelete
  4. Mbak kok kebalikan, aku malah keseringan (dan merasa asik) nonton sendiri dibanding sama orang lain. Kebalikan juga, efek aku dari lama keasikan nulis di buku diary jadi mengesampingkan ngetik mbak. Hehe:')

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...