Thursday, September 15, 2016

(Masih) Tentang Mario Teguh, Tentang Pengharapan, dan Tentang Kekecewaan


Don’t worry, bukannya saya engga punya kerjaan terus masih ngomongin kasus Bapak Salam Super. Saya hanya merasa punya tanggungjawab membawa suatu ‘kebenaran’, karena naluri wartawan saya terusik jika ada sesuatu yang jelas saya ketahui tapi jadinya malah menimbulkan asumsi macam-macam di luar sana. But I don’t regret writing this article. Terima kasih untuk yang sudah komentar, sama juga dengan teman-teman dekat yang bertanya langsung kepada saya melalui WhatsApp. Semoga saya bisa memberikan pencerahan dan meyakinkan sudut pandang teman-teman pada posisi ini. Bukan bermaksud mempengaruhi (iya sih, sedikit-banyak). Kalau bikin orang penasaran kan dosa yak, makanya saya hanya ingin meluruskan wawasan sebagaimana pengetahuan saya yang terbatas.

Buat sister yang masih bertanya-tanya tentang kasus ini, saya tambahkan beberapa pemikiran yang menurut saya masuk akal:
1. Keluarga besar bukannya menolak tes DNA, kami (halah, kami) terbuka dengan hal ini tetapi kami tidak merasa hal ini urgent. Disebabkan sejak dulu sampai sekarang insyaAllah kami yakin bahwa mas Ario adalah anak kandung Mario Teguh. Biasanya sih, yang meminta tes DNA itu yang engga yakin, ya kan.
2. Kalau sister sempat kepo dan nonton wawancara Bude Kum-kum dengan sebuah televisi lokal, penjelasannya hampir sama persis dengan yang mama ceritakan kepada saya. Padahal keduanya sudah tidak bertemu bertahun lamanya, dan engga ‘janjian’ untuk masalah ini. There is no scenario or script at all. Soalnya pengetahuan itu asli dan engga perlu dibuat-buat.
3. Semisal memang Bude Yani yang selingkuh endebre endebre, apa dia masih punya muka untuk datang ke keluarga kami? Nyatanya masih ada yang berkomunikasi dengan beliau. Dulu saya pun bertemu dengan Mas Ario dan Bude Yani di rumah pakde (adik Mario Teguh) di Surabaya.
4. Saya dapat banyak wawasan tentang sisi hukum kasus ini dari penjelasan Ibu Linda Latumahina. Silakan dibaca langsung di Facebook beliau ya. Semoga bisa menguatkan dan meyakinkan manteman semua, secara yang namanya hidup bermasyarakat semua ada aturannya kok. Pada akhirnya, aturan itu yang menyelamatkan kita semua. Kalau udah engga mau sama sebuah aturan, tinggal di gua aja :))

***

Meskipun pembicaraan ini sudah malang melintang di keluarga saya sejak beberapa tahun yang lalu, entah kenapa hal ini mencuat ke publik bertepatan dengan Idul Adha. Momen dimana kita harus banyak belajar tentang pengorbanan dan keikhlasan. Semalam saya baca blog post-nya Ocha, dan terasa yang namanya kebaikan itu bisa ‘sempurna’ jika sesuatu itu bertimbal-balik. Misalnya begini, ada orang yang selama hidupnya dijahatin mulu. Dia ngerasa itu engga enak. Dia punya dua pilihan: ngejahatin orang lain supaya dia bisa melampiaskan kekesalannya. Atau ngebaikin orang lain karena dia percaya bahwa kebaikan itu akan diteruskan dan menciptakan hidup yang lebih indah.

Somehow saya ngerasa Mas Ario Kiswinar, kalau mau, bisa aja ngejahatin keluarga Mario Teguh yang sekarang. It’s easy for him. Nge-hack akun medsos Audrey atau nge-bully secara online, misalnya. Tapi dia engga melakukan hal itu. Karena dia tahu dijahatin itu engga enak.

Momen Idul Adha membuat saya melihat keikhlasan itu ada pada sosok Siti Hajar dan Ismail. Mereka ‘mau’ aja lho ditinggalin, ‘hanya’ karena Ibrahim harus mengikuti ketentuan Allah. Sementara kebanyakan manusia zaman sekarang lebih sering mengikuti nafsu daripada yang sudah ditetapkan oleh-Nya. Coba kalau zama dulu sudah ada Internet dan medsos, terus Siti Hajar dan Ismail engga ikhlas. Mungkin mereka nge-tweet “bapakku tega banget, masa aku mau disembelih? Memang aku ayam??” #YaKale

Dua hari terakhir ini, saya mengalami beberapa permasalahan yang berhubungan dengan perbuatan dan perkataan. Kutipan dari Ali bin Abi Thalib diatas sudah saya simpan dari lama sekali. Saat itu, dan saat ini, saya sedang mengalami suatu kejadian yang bikin geregetan. Intinya adalah, sepertinya orang-orang di sekitar saya ini engga berterimakasih dengan apa yang telah saya lakukan untuk mereka. Jangankan membalas kebaikan saya, ingat aja engga. Padahal saya sudah melakukan hal-hal yang saya anggap besar. Kalau masalah mengingat kebaikan saya sih, saya biasa aja. Tapi ada satu-dua momen yang membuat saya disalahkan terus saya pikir, “ya ampun, kamu engga inget pas kemarin aku baik banget ke kamu?”

Hahahahahaha. Manusia banget.

Terus saya tanya ke diri sendiri, sebenarnya siapa yang butuh berbuat baik? It’s not them, right. It’s me. Saya butuh berbuat baik karena saya tahu what goes around comes around. Pernah ada yang bilang ke saya, “orang baik itu pasti sering dibaikin kok. Engga perlu nunggu orang yang punya hutang budi ke dia (untuk membalas kebaikannya), pasti ada jalan buat Tuhan untuk bikin hidupnya mudah.”

So keep treating people with respect, without any expectation, because expectation is the key of disappointment. Kamu akan terus-terusan kecewa kalau selalu mengingat-ingat kebaikan yang sudah kamu lakukan kepada orang lain. Yang lebih baik adalah, kalau kamu selalu mengingat-ingat kebaikan yang sudah orang lain lakukan kepadamu. Sebagai contoh, saya paling engga bisa ngelihat turis kebingungan, karena saya ingat orang-orang yang sudah membuat perjalanan saya (kemanapun itu) jadi menyenangkan.

Semoga kita bisa mengembalikan harapan kita hanya kepada Allah semata. Amiiin.

Lots of love,
Prima

2 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...