Monday, September 19, 2016

Antara Halal dan 'Halal' (Bagian 1)

Ketika saya ‘iseng’ nulis post untuk The Sunshine Blogger Awards 2016, saya engga nyangka bakal dapat banyak sekali inspirasi dari teman-teman blogger tersayang. Sejauh ini, yang sudah menjawab tantangan dari saya ada Kak Nissa, Nazura Gulfira, Erny, Ika, dan Mbak Ine. Atau ada lagi yang sudah menulis tapi belum saya baca?

Berhubung mereka harus bikin 11 pertanyaan baru, saya tertarik untuk menjawab beberapa (kalau bisa sih semua) pertanyaan dari mereka, sebagai bahan untuk mengisi blog ini. Nasib belum mampu jadi fashion blogger, saya tetap akan bertahan sebagai blogger bawel yang hobi mengomentari hal-hal yang saya lihat atau dengar.

Salah satu pertanyaan yang menggelitik, saya dapat dari Ika.
Menurut kamu (yang Muslim), penting nggak sih berhati-hati saat makan di luar? Kan nggak menutup kemungkinan meski makanan yang disajikan itu no pork, tapi bumbunya mengandung zat-zat yang diharamkan (misal: wine).

Pada suatu masa (halah), buat saya yang paling penting itu no pork. That’s all. Why so? Karena waktu itu saya masih berwawasan sempit. Pegangan saya ‘cuma’ ayat dibawah ini.

"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.....(Q.S.Al-Ma'idah (5): 3)"

Di satu sisi, saya cukup ‘cuek’ karena berpikir bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Saya pun merasa bisa mempercayai para penjual makanan. Dalam pengharapan saya, insyaAllah mereka menyembelih hewan ternak untuk bahan makanan dengan menggunakan nama Allah. Mereka pun tidak akan tega untuk memberikan apa yang tidak bisa saya makan karena melihat saya berhijab.

Sayangnya, ketika saya mulai sering makan di luar, saya menemukan beberapa kasus yang mencengangkan. Suatu hari, saya dan teman makan siang di sebuah restoran Jepang. Si teman yang juga muslim (tapi tidak berhijab) memesan ramen, dan saya memesan sushi. Si teman sempat bilang, “eh kamu nanti harus coba ya, ramennya disini enak banget.” But then, kami shock berat waktu si pelayan bilang, “tapi nanti mbaknya (nunjuk saya) engga bisa makan ramennya lho ya. Ada kandungan yang tidak halal.” What? Teman saya sudah beberapa kali makan disitu dan engga pernah diberitahu sebelumnya.  Kami pun membatalkan pesanan dan pindah restoran.

Another time, saya memberi ide restoran untuk ulang tahun (mantan) bos. Restoran Jepang lagi, tapi tempatnya beda dengan kejadian diatas. Saya serius tanya satu persatu menu dan mereka bilang aman untuk saya makan. Eh, beberapa bulan yang lalu, ada gosip kalau restoran itu engga halal 100% karena dressing yang disajikan untuk pengunjung mengandung bahan yang tidak halal. Jadi bukan dari bahan masakannya, tapi semacam kecap/saosnya gitu. Setelah dipikir-pikir, restoran itu memang engga ada sertifikat halalnya.

Bagaimana ketika di luar negeri? Kebetulan saya baru ke lima negara: Thailand, Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Kamboja. Dulu waktu ke Thailand, rasanya saya sempat makan yang meragukan berhubung itu makanan instan, misalnya pizza instan yang tinggal dihangatkan di microwave gitu. Tapi, penjual makanan di pinggir jalan akan bilang kalau makanan itu mengandung babi. Singapura dan Malaysia punya beragam makanan halal karena Islam juga tergolong mayoritas. Waktu di Vietnam, teman saya vegetarian, malah berasa kayak kambing, saya mah makan ‘rumput-rumputan’ melulu. Bisa sih, makan di restoran halal punya orang Malaysia yang cukup banyak tersedia di Ho Chi Minh, tapi harganya sekitar 2 kali lebih mahal. Intinya secara umum saya berusaha makan telur atau seafood saja. Di Kamboja yang agak miris. Saya cuma berani makan roti manis soalnya engga tahu harus gimana nanya ke mereka. Syukur alhamdulillah saya hanya berada disana selama tiga hari. Hari pertama saya makan siang di rumah makan milik orang Indonesia (dan sepertinya muslim). Hari kedua saya dapat berkah, yaitu diundang datang ke kondangan di perkampungan muslim.

Buat saya yang punya banyak teman dari luar negeri (cieeeeeh), masalah halal atau engga ini cukup complicated. Misalnya teman-teman saya yang dari Korea berpikir selama no pork and alcohol, there will be no problem. Masalahnya, sepengetahuan saya ketika kami menggunakan alat masak yang sama, daging yang halal bisa jadi haram. Misalnya mereka baru memanggang samgyeobsal (daging babi gitu deh), terus wajan yang sama dipakai untuk memanggang sapi. Terus mereka suguhkan ke saya. Seems so nice, right? Tapi dengan berat hati harus saya tolak. Hiks.

Sama halnya dengan sebuah restoran yang menjual menu makanan yang dimasak dengan wine. Saya pernah makan di sebuah restoran mewah. Pilih menu ayam, makan, dan ketika mau mencoba makanan teman saya, dia bilang makanannya dimasak dengan wine. Waduh. Apalagi saya orangnya engga ‘fasih’ masalah food tasting, jadi engga begitu terasa bedanya. 

Mengapa saya terus ‘bermasalah’ dengan restoran seperti ini? To be honest, saya tidak menggunakan standar halal MUI sebagai satu-satunya pedoman saat memilih tempat makan. Soalnya ya, harus kita akui kalau semua tempat wajib pakai sertifikasi halal, gimana nasib lalapan di pinggir jalan?

Namun, pada prinsipnya, saya selalu berusaha untuk memilih makanan (dan minuman) yang saya tahu kehalalannya, dan menghindari yang meragukan. InsyaAllah, saya tidak akan memilih makanan (dan minuman) yang sudah jelas haram hanya karena ‘enak’ dan gengsi. Saya melihat biasanya sekali orang makan dan minum yang haram, dia akan terus melakukannya. Terutama karena godaan setan. Hehehe. Akui saja deh. It feels good for you to look ‘cool’ just because you are brave enough to ‘break the limit’, right?

Wah, masalah halal-haram ‘aja’ bisa sampai sepanjang ini. Padahal saya masih pingin menjelaskan beberapa hal berkenaan dengan ini. Saya lanjut ke post berikutnya ya, sekalian saya cari dulu hadits/ayat Al-Qur’an yang cocok.

Kalau menurut sister, ada yang mengganjal, yuk diskusi dengan elegan! Saya tunggu komentarnya.

Salam,
Prima 

11 comments:

  1. This is a very interesting issue to share :)

    Saya sudah tinggal luar dari Malaysia, masuk tahun ke-6. Muslim di sini sangat minoriti, dah amatlah susah untuk dapatkan makanan halal selain dari yang dijual oleh orang Turki, Pakistan etc. Yang halal, biasanya kebab, nasi arab, nasi beriyani. Gitu aja, belum jumpa makanan lokal yg ada certifikat halal. Jadinya, setiap kali nak cuba makanan, harus tanya isi ada wine, alkohol, daging dan sebagainya. gelatin jugak tak boleh dipandang rendah, rata-rata menggunakan gelatin haiwan di sini.

    Pernah sekali order mashed potato. Ingatkan hanya ada kentang, sekali ditaburnya atas tu dengan cebisan2 salami. Alahai, terus tak boleh makan.

    hanisamanina.com

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thank you so much for your comment! :)
      I have seen your blog. I know, it is a bit difficult to live in the country where muslim is minority.
      Salute for you who is committed to keep asking before eating, because I know some people will be too lazy to ask, and some sellers are too busy to remind.
      I once experienced that too. 'Bacon' in Indonesia is beef, but in some places it really is bacon. Have to cancel the order, then. Huhu.

      Delete
  2. Alhamdulillah Islam luar biasa. kalo ada makanan yg kita gak tau halal atau haram, bacalah bismillah dan makanlah. Ada hadist gitu kan mbak kalo ga salah inget..

    ReplyDelete
  3. Masalah halal memang selalu jadi perbincangan yang nggak ada habisnya. Kalo boleh jujur, aku pun sebenarnya harus kembali banyak berkaca dan belajar, terutama tentang kehalalan sebuah produk. Sejak tinggal di Australia, memang banyak temen2ku yang (pd akhirnya) menurunkan 'standar' kehalalan mereka, misal makan di suatu resto asal no pork/lard, tapi perkara ini mgkn ada sebabnya juga karena banyak resto yang sebenarnya memang tdk menggunakan bahan non halal tapi belum tersertifikasi halal di sana. Maklum, sulit dan mahalnya proses sertifikasi halal di Australia yang sering jadi penyebabnya.

    Nah, maka dari itu, memang buat mahasiswa asing kayak aku, lebih aman masak sendiri dengan membeli daging di halal butcher. Kalau pun kami makan di luar, biasanya akan lebih prioritas yg ada label halal, umumnya Malay atau Indian food. Kadang Chinese food juga ada label halalnya lho.

    Yang repot justru di negara sendiri, di mana kita berasumsi karena Indonesia negara mayoritas Muslim, jadi (insyaa allah) makanan yang diperdagangkan 'tampak' halal bagi konsumen lokal... padahal kadang hati kecil suka bertanya2.

    ReplyDelete
    Replies
    1. nah iya kan, pada dasarnya memang proses sertifikasi halal memakan waktu yang engga sebentar, dan biaya yang engga sedikit. mungkin kalau aku (tinggal) diluar negeri juga akan melakukan hal yang sama, yang penting no pork/alcohol.

      masalahnya kemudian di Indonesia serba salah, kalau nanya-nanya kayak suudzon juga. hehehe.

      Delete
  4. kalo ke resto jepang sih, emang kebanyakan pake bahan yang mengandung babi kak. kebetulan aku pegang klien resto jepang, dan saus sushinya mengandung babi, tapi yang makan kebanyakan hijaber huahaha. mending makannye di warteg ajelah :p

    pas aku ke korea sama jepang, aku bawa makanan sendiri (tempe orek dan abon). aku gak makan di resto yang ditunjuk travel, karena ribet sendiri kudu satu persatu nanya "halal gak nih?" ke pelayan (mane pade kagak bisa basa enggres)

    ReplyDelete
    Replies
    1. WADUHHH, hancur hatiku~
      apalagi masakan Korea, soalnya aku sukaaa, hiks hiks.

      Delete
  5. Iya nih mba, kalo jajan di pinggir jalan bahkan kalo beli gelato-gelatoan kudu nanya mana yang bisa dimakan? Pake rhum nggak? Pake angciu nggak? Pernah ke salah satu foodcourt di kampus baru tahu ternyata nasi goreng dan kwetiaunya pake angciu hiks... kan sama aja walau ditawarin nggak pake tapi wajannya samaan. Di Malang juga pernah, kasusnya sama kwetiau dan nasgor. Padahal dua-duanya kesukaan sepanjang masa -__-

    ReplyDelete
    Replies
    1. kapan hari aku ngajakin temenku ke Gelato yang heits di Prawirotaman itu lho. Aku sih langsung rakus, eh temenku sempet-sempetnya nyari logo halal, dan alhamdulillah ada :)))
      waaaaah, aku baru tahu angciu haram -_- duh chinese food favoritku :(

      Delete
  6. Emang sih sertifikat halal dari MUI nggak bisa dijadikan tolak ukur mutlak. Namun untuk gerai resto di mall-mall alangkah baiknya disertifikasi karena kan bisnis mereka gede.

    Tapi paling ribet emang kuliner pinggir jalan dan gerobakán nih... Sumpah belum nemu solusi yang enak T___T

    ReplyDelete
    Replies
    1. solusinya masak sendiri.....dan semakin ribet kalau mau repot nanya ke yang jual ayam, "Pak, nyembelihnya pakai nama Allah kan?" terus dijawab, "menurut ngana, pakai nama cinta?" LOL. Bismillah aja deh.

      Delete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...