Saturday, May 28, 2016

Happiness Project: Traveling vs House

Dua hari kelewat engga nulis Happiness Project lagi, tapi super alhamdulillah perasaan saya sudah jauuuh lebih baik. Yang namanya sh*t happens lah ya, namanya juga hidup. Tapi saya harus selalu ingat kalau badai pasti berlalu. Jadi engga usah dipikirin berat-berat, hidup tanpa cobaan itu bagaikan makan pizza tanpa topping keju #lhah #mentangmentanglagimakanpizza 

Satu pengumuman penting, setelah sekian lama engga bikin project, insyaAllah saya akan mengadakan #1Hari1BukuIslami selama bulan Ramadhan. Cara ‘main’-nya hampir sama kayak #1Hari1Masjid dulu, jadi kamu harus kirim tulisan + foto bukunya ke email saya: primadita1088 at gmail dot com dengan subject: #1Hari1BukuIslami. Nanti tulisanmu akan saya post di blog ini, dan saya link ke blogmu. Ada hadiah dari The Little Red Lady dan hadiah hiburan yang menanti. Jadi, segera daftarkan dirimu ya. Tentang buku islami, engga harus ada embel-embel islami dengan ayat-ayat Al-Qur’an kok. Yang penting ada nilai-nilai islami yang diekspos di buku tersebut. Nilai islami seperti apa? Banyak! Ketepatan waktu, berbakti pada orangtua, menjaga cinta tanpa khalwat hingga halal, dan sebagainya. Untuk format tulisannya, please read some samples here.

Anyway, tentang alasan saya bahagia dua hari ini agak sedikit berlawanan. Yang pertama, saya tiba-tiba rindu traveling karena kemarin ngebaca blog-nya The Bucket List Family. Keluarganya sedikit mengingatkan saya dengan keluarganya Irfan Bachdim, dengan bapak yang (mantan) pemain sepak bola dan ibu yang seksi abisss. Tapi bedanya, keluarga satu ini membawa kedua anaknya traveling alias berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain. Saya langsung mencelos, kapan terakhir kali traveling? Hiks. 

Kabar ‘buruk’-nya, kepergian saya ke Bali adalah Oktober tahun lalu. Memang sih saya sempat ke Malang di awal tahun, Jakarta di bulan Februari, dan Semarang bulan lalu; tapi buat saya itu bukan traveling #lhaterusapaprim

Kabar baiknya, meskipun ketiga kota tersebut engga masuk hitungan traveling ‘yang sebenarnya’ buat saya, saya juga harus bersyukur karena saya bisa traveling plus-plus. Seperti waktu saya ke Semarang, saya menjadi moderator untuk sebuah seminar bertajuk Boost Your Career to the World Stage yang diselenggarakan oleh Universitas Dian Nuswantoro. Bukan hanya bertemu dengan teman lama, Gigih dan Vega, saya juga ‘ditraktir’ menginap di AllStay Hotel yang bagus banget. Apalagi ketika tahu pembicaranya adalah Bu Janet DeNeefe dan Bu Niluh Djelantik, saya engga pakai mikir langsung setuju. Haha. 

Ki-ka: saya, Bu Niluh, Dewi (anak Bu Janet), Bu Janet

Nah, terus hubungannya dengan kebahagiaan apa? Because I love traveling so much, more when it gives me a meaningful experience. Saya rindu melakukan perjalanan tanpa ‘membawa beban’. Soalnya, sebagai mahasiswa S2, jelas gelar mahasiswa ini adalah ‘beban’ yang harus segera diletakkan a.k.a HARUS LULUS TEPAT WAKTU! Tapi kamu pasti pernah dengar peribahasa ‘berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian; bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.’ Nah, saya sering bilang ke diri sendiri, ‘you are doing traveling, prima. To a destination called Master Degree.’ Mudah-mudahan periode bersakit-sakit ini segera selesai, jadi saya bisa merencanakan pergi ke Korea dengan hati (lebih) tenang.

Hal lainnya yang ingin saya share adalah, tadi siang saya nonton Charlie Luxton's Homes by the Sea di NatGeo People dan tambah mencelos. Sadly to say, I do dream of traveling around the world but I prefer to have a house. Engga harus besar mentereng kayak kastil, sebuah apartemen tipe studio pun bakal bikin saya happy. Nasib dari sononya memang anak rumahan banget. Bisa sih berhari-hari ‘tinggal’ di rumah orang atau hostel gitu, tapi engga ada yang mengalahkan perasaan being comfortable at home, right? Tapi sayapun seringnya kurang begitu happy di rumah orangtua soalnya engga punya privacy, hehe. Makanya saya pingin segera lulus S2 and have my own space. 

So, what is the moral story of my post today? Bahwa impian dan tujuan hidup bisa jadi alasan kebahagiaan. Tanpa impian, kamu bisa jadi luntang-lantung. Mau ngapain hari ini? Life has no meaning unless you have something to be chased. Saya percaya saya bisa mendapatkan keduanya: traveling dan tempat tinggal. Maybe it’s not today, but I will do my best to have them both. Dan selama proses mewujudkan keduanya, saya memutuskan untuk menjalaninya dengan bahagia. 

Kisses,
Prima

Thursday, May 26, 2016

Happiness Project: Headache Please Go Away

Photo Credit


Pagi ini, saya terbangun dengan sakit kepala hebat. Sebenarnya saya sudah merasakannya sejak semalam, tapi saya mengacuhkannya dan berharap rasa sakit ini akan hilang ketika saya tidur (eh kalau tidur kan engga bisa ngerasain apa-apa ya? lol). Meski masih sakit kepala sampai sekarang, saya tetap harus bekerja. Cuma tadi harus ambil waktu istirahat lebih lama. Kalau biasanya tidur siang hanya 15-30 menit sudah fresh, tadi saya butuh 1,5 jam untuk 'menormalkan' rasa sakit di kepala. 

Akhir-akhir ini, saya mulai terbiasa dengan sakit kepala. Awalnya sekitar beberapa minggu lalu, saya mengalami vertigo untuk pertama kali. Dan muncul lagi sekitar 1-2 kali setiap dua minggu. Rasanya menyiksa banget! Jauh lebih menyiksa daripada migrain - yang kadang saya rasakan dalam beberapa tahun terakhir ini. Sedih banget karena sebenarnya vertigo muncul dari depresi yang saya alami. 

Makanya quote diatas cocok banget dengan happiness project ini. Kesehatan itu kayaknya keciiil dibandingkan dengan hal-hal lain. Pekerjaan, sekolah, pergaulan. Tapi kalau engga sehat, sama aja bohong. Semua itu tidak berarti tanpa kesehatan. 

Terus kok bersyukur kalau dikasih sakit, prim? Iya, masih alhamdulillah sakitnya 'cuma' pusing, bukan sakit yang lebih pelik. Nih, saya aja masih bisa nge-blog kan. Tapi kalaupun kamu saat ini sedang sakit dan sedih karenanya, ingatlah bahwa Allah menghapuskan dosa dari orang yang sakit. Ini hadits-nya: "Seorang mu'min yang sakit, ia tidak mendapatkan pahala dari sakitnya, namun diampuni dosa-dosanya" (H.R. Thabrani). Meskipun begitu, jangan 'disakit-sakitin' ya badannya. Sehat lebih enak daripada sakit, bisa melakukan hal-hal yang bermanfaat, dan tentunya bisa beribadah dengan lebih tenang. 

Get well soon for you who is sick at the moment!

Love,
Prima

Wednesday, May 25, 2016

Happiness Project: an Email from Chicago

There were a lot of good news today! Alhamdulillah. Which one should I tell first? :)

In the morning, my dad told me that my only brother got accepted in STAN. Wow, that’s so prestigious! I am proud of him as I saw myself that he studied very very hard. He usually comes home at night after courses. Sometimes he still makes time to help her mother delivering pizza. I can see he will grow as a good man insyaAllah, and perhaps there will be many girls attracted to him. Hmmm, they should pass the selection process held by me! Lol.

My two offices (yeah, in case you don’t know, I work for TWO companies) are planning some campaigns and we have meeting on WhatsApp all day long. So far, the results are beyond our expectation. However, I still can’t jump in as I have some responsibilities to do too on my side. But never mind, I feel blessed to be able to work with great people. I send support and prayer from Jogja!

In the afternoon, as I was waiting for Anja, my partner in crime speaking Korean, I received an email that makes me feel motivated. My Seonsaengnim said, there is no fast track in learning foreign language. Practice, practice, practice is the only key. Unfortunately, I can’t practice my Korean with people at home. Once I read my Korean book and said ‘haraboji’, then my aunt screamed ‘I know what it means...Father. Right?’ ‘Hmmm, aunt, it’s actually grandfather. Close enough.’ *big grin* 

Anyway, this email is from Addison. Who is she? Please read here and here to get to know her. Long story short, she converted around two years ago after found my blog. Not that I was the only reason for her to do so – we all know that Allah is the One who gives hidayah to somebody. But suddenly, I got reminded why I start my blog at the first time. I recalled of my purpose in writing, or even my life goals. I want to make every single second means da’wah. I want da’wah to be ‘fun’. I want every youth Muslim understands that the best da’wah is ‘only’ about behavior. Preach still needed, sometimes, but as Rasulullah also does the thing: be the best example. Be the light for the world. Be rahmatan lil ‘alamin

I have to be honest that since World Muslimah Award, I feel it was the ‘peak’ of my achievements in blogging. I will never be a fashion/make up blogger (at least not in this year) therefore I might not be a so-called influencer. I am not that famous on Instagram, Twitter, and so on. After getting the title, I almost feel like I drowned into laziness. I have to find another mountain to climb. I have to find another award to be accomplished. If there is no appreciation like that, I don't want to write anymore... I forgot one thing: I write for myself. Yeah, maybe I write for my readers, but on top of that, I have to stay true to myself. And that is what my blog is all about. 

Photo Credit

If that’s the case: to keep writing honestly and sincerely, I hope someday there will be more ‘Addison’ to read my blog and befriend with me.  I don’t limit my friends. Even though you drink Soju like I drink mineral water, I still can be your friend. I mean here is~ I expect to help you by providing my life experiences and my thoughts. So then you can help me too, by giving me your opinion. We can discuss, and that’s how we learn from each other. 

So, what have you learn from me? :)

Lots of love,
Prima

Tuesday, May 24, 2016

Happiness Project: My Aunt is Off to Munich

Sunday, Monday, and today is already Tuesday! Not that I don’t think about the happiness project but I was so lazy to write it down. Meh. So, as this is the third day since Saturday, I should have three reasons of happiness. Those are:
1. My Aunt
2. My Job
3. Other People’ Job

Photo Credit: Pinterest

I chose to take some rest on Sunday because I have worked hard on last Saturday. What did I do? I re-watched Harry Potter and the Deathly Hallows. Until now, I can think hardly of me being the Harry Potter who has to look for horcruxes. I mean, oh boy, that task ain’t easy at all. Even for a 17 years old wizard. But it’s not what makes me feel grateful. 

I feel so lucky to have my aunt who I’m living with, here in Yogyakarta. Not like Harry’s aunt, my aunt is really nurturing and always proud of my achievements. The fact that I am stuck in my thesis writing (hmmm, she doesn’t know it actually) doesn’t make her care about me less. She motivated me with other ways I almost think she will dispel me. Lol. 

That Sunday, she departures to Munich for a conference. Although I have no plan (…yet) to be a lecturer like her, I wish I will be a teacher someday. Maybe I don’t have to be an official teacher in an official institution. However, my aunt always reminds me to make our time the most, for the sake of other people’s lives. To help uneducated and poor people finding their ways to have a better life. And that’s where I’m heading to. 

Second reason that starting sounds cliché now is my job. It doesn’t requires me to commute anywhere. In the other side, it makes me feel like being an anak rumahan much more. I always been, and this kind of job makes me even lazier to go out. Haha.

The challenge is when people don’t think that you are working. It looks like you are just typing and ‘playing’ with your laptop, right? I also have that kind of thoughts haunting me. Do you really make money? Do you have to make a report for your boss? Do you have a team to lead? Trust me, I am juggling myself between all those responsibilities. So the next challenge is time management. If I don’t manage my time well (and seems like I haven’t done it right), I will feel like I work 24 hours. Lucky me, writing is not that difficult for me. Ciehhh. I think I am living my dream. I once wrote that I want to be a feature writer who works from home, and look at me now! Alhamdulillah. 

The happiness project slapped me today as we are having some handyman (…tukang, actually) renovating our house. They work happily even though I am sure I got paid much more than them. They also work a lot harder than me. So, having my job and compare it to them… The ‘difficulty’ is nothing. 

I think that’s all for today. Hopefully I can make more time to list all the reasons of happiness for tomorrow. But now, I have to catch my thesis advisor to consult on my title. Thankfully I had a productive morning; I have finished editing some of my team’s writing. What about you?

Lots of love,
Prima

Saturday, May 21, 2016

Happiness Project: Opening

This is the story that I finally reveal. Takes days and weeks for me to write it ‘cause as I have said a lot of times, all I want to do is spread the optimism. It’s not that I play a happy-go-lucky role, but I realize everyone has problem. What differs people then is, how to overcome it. Right?  

Sekitar sebulan terakhir, saya sedang mengalami stres yang luar biasa. Saya sedang menghadapi banyak tekanan dari banyak pihak. Maju kena, mundur kena. There is no right thing in my eyes. Semua ada salahnya. Semua ada celanya. Semua ada kurangnya.

Yang paling parah, saya memandang diri saya pun begitu. Saya terbelit oleh ekspektasi diri sendiri yang sedemikian tingginya. Saya harus segera lulus. Saya harus memiliki penghasilan sendiri. Saya harus tetap menunjukkan bakti saya di rumah yang saya tinggali saat ini.

Kadang saya berkata kepada diri sendiri, ‘no one force you to do this and that, prim’ Lalu satu-dua sms dan telepon menghancurkan optimisme yang sudah saya kumpulkan dengan susah payah. 

Photo Credit: PictureQuotes.com
Sering saya merasa hidup ini tidak adil. Sebagaimana kutipan diatas, bagaimana kalau kita mau tidak mau harus stuck di lingkungan yang negatif. Let say... What if this ‘people’ is our own family? Kan tidak mungkin kita tiba-tiba ‘yuk ah, aku mau mengganti keluargaku dengan keluarga yang lebih positif.’ Menurut ngana aja?

Bukannya keluarga saya segitu buruknya ya. Tapi sebagai lulusan Ilmu Komunikasi dan sekarang sedang studi S2 Ilmu Komunikasi, saya paham keluarga saya sedang mengalami banyak miscommunication and misunderstanding. Dan dengan prinsip ‘takut jadi anak durhaka’, saya memilih menelannya sendiri. Atau kemudian jadi status di Facebook, dan sekarang jadi blog post. It’s hard, it really is. 

Makanya, ada hari-hari dimana saya menangis sesenggukan sampai tertidur. Kalau lagi tidakada orang di rumah, saya bisa puas-puasin menangis meraung-raung sampai suara serak. Mencari hiburan dengan apa? Saya justru merasa bersalah ketika nonton bioskop atau makan enak – ‘cause it costs some money. Bahkan ketemu psikolog pun sudah tidak mempan. I’m overwhelmed.

Diatas semuanya, saya justru memperburuk suasana dengan merasa berat badan saya adalah salah satu masalah yang harus segera diatasi. Sudah baca post Zumba Ternyata Tidak Bikin Kurus? Mungkin nadanya post itu tidak terlalu serius, tapi akhir-akhir ini saya semakin sering ngatain diri sendiri ‘gendut’. Saat ini pun saya menjalani dua program diet sekaligus – yang sayangnya tidak memberikan hasil positif. Saya baru tahu kalau stres sangat mempengaruhi penurunan berat badan, dan semakin stres saya, yang ada ya...semakin gendut.

Please jangan ngomong tentang iman dan keyakinan. Although I don’t spill out everything here, percayalah saya tetap melakukan hal-hal yang ‘seharusnya’. Just in case you really want to know, alhamdulillah semua cobaan ini saya lalui tanpa teman-teman yang selalu ada. Saya jadi berpaling pada lembar-lembar Al-Qur’an. Dan saya masih menunggu ‘keajaiban’ datang.  

I’m frustrated and I don’t know what to do.  

Lalu suatu malam, saya tiba-tiba bilang ke teman sekamar saya – satu-satunya orang yang pernah mendengar saya menangis sampai mengobrak-abrik meja dan menjambaki rambut. “Kita harus hentikan semua hal negatif ini. Biarlah orang memperlakukan kita seperti apa, we don’t have to digest all those things. We have to stay strong.” (Kenapa kita? As I have said, semua orang punya masalah – dia juga)
“Caranya gimana, mbak?”
“We have to be grateful.”
Terus kami berdua lihat-lihatan. Lah, bersyukur mah gampang buat diomongin?
“Kita harus mencatat setiap hal yang membuat kita bahagia dan bersyukur pada hari itu, dan fokus kepada hal tersebut.”
Entah kesambet apa saya bisa ngomong begitu. Gimana caranya bahagia dan bersyukur kalau tidak tahu apa yang harus disyukuri?
“Nah ya itu, kita harus melakukannya setiap hari. Minimal selama sebulan.” 

Dan setelah ditunda berhari-hari, saya akan memulainya hari ini. 

Alhamdulillah, tadi pagi saya bangun dengan perasaan yang cukup baik. Sepertinya ‘efek’ zumba sampai kaki gemetar dan punggung encok tadi malam. Setelah saya mandi, sholat dhuha, langsung capcuss ke suatu gerai donat supaya bisa mengerjakan pekerjaan saya. Alhamdulillah, saya mendapat kepercayaan untuk sebuah project baru di tempat kerja saya. Alhamdulillah, saya bisa mengerjakannya dimana saja, tanpa harus terikat tempat dan waktu. Kalau nanti saya bosan disini, saya bisa pindah ke tempat lain. Alhamdulillah juga, masih bisa beli donat dan ice lemon tea untuk menemani pekerjaan saya (ya masa numpang WiFi-an doang?). 

Saya tidak tahu apakah happiness project ini akan berlanjut, atau memberikan dampak yang signifikan terhadap permasalahan yang saya hadapi. Tapi yang saya ingin kamu tahu, bahwa nobody has perfect life, it’s true. But don’t be ashamed for what you are. No need to pretend that you are happy when you aren’t. Life will find its way, and this too shall pass.
 
See you tomorrow,
Prima  

Thursday, May 5, 2016

Me and My Online Presence

Kata psikolog, saya ini anomali. Pada dasarnya saya adalah seorang yang individualis, lebih cenderung ke introvert; tapi sangat mudah berbaur, senang berteman, dan ceria. 

Beberapa bulan terakhir, saya menemukan anomalitas saya yang lain. Saya sangat ingin eksis di dunia online (who doesn’t?), tapi saya juga malas berbagi sesuatu yang pribadi terlalu sering. Lihat saja Twitter atau Instagram saya yang post-nya semakin jarang. Puncaknya, kemarin pagi saya akhirnya uninstall Facebook dari hp saya. Saya merasa lelah membaca hal-hal buruk yang seliweran di news feed. Kadang, bukan artikel atau fakta-nya yang buruk, tapi so many stupid people commenting on what they don’t know. Apalagi terus saling mencari kesalahan, seolah-olah yang nulis udah paling benar sedunia. 

I’m so exhausted.

Bahkan saya jadi sering berprasangka buruk terhadap orang-orang yang saya kenal baik, karena post itu kan sangat mudah dihakimi. Saya tidak melihat bagaimana ekspresi orang tersebut ketika menulis atau mengunggah suatu post. Apakah benar ketika dia mem-post sesuatu yang menyedihkan, dia memang sedang bersedih? Atau pencitraan saja? Sebaliknya juga demikian dengan ibu-ibu yang hobinya membanjiri timeline dengan foto ‘lucu’ anaknya. Mereka tidak salah. Yang salah saya, yang berprasangka buruk and sometimes I can’t handle myself.   

Jujur, saya mulai malas mem-post foto diri sejak melihat banyak hijabers berkeliaran dengan wajah cantik dan baju mahalnya. Saya harus mengakui bahwa sebagian kecil dari pengakuan saya bisa jadi dikarenakan iri dan dengki. Tidak masalah. Itu manusiawi. Tapi saya sungguh terusik karena esensi hijab yang harusnya menundukkan pandangan jadi tidak berlaku lagi akhir-akhir ini. Muslimah berlomba-lomba mempertontonkan kecantikannya, yang sangat mungkin menjadi fitnah bagi orang lain.


Tapi muslimah-muslimah ini tidak sendiri. Semakin banyak pula remaja perempuan – dalam hal ini, orang Indonesia – yang bangga menunjukkan fotonya sedang berbikini, atau mengenakan rok yang sangat-sangat pendek. Saya tidak sedang berbicara masalah budaya Timur atau budaya Barat; atau pakaian yang sesuai dengan tempat. Tapi aktivitas mem-post-nya itu lho. Saya masih percaya bahwa tidak semua hal perlu diberitahukan kepada dunia. Baik itu aktivitas pribadi, maupun perasaan atau pendapat kita terhadap orang lain – yang bisa jadi aib baginya.

Saya khawatir generasi berikutnya (itu... anak-anak SD yang sudah punya Instagram) berpikir bahwa hal itu benar dan baik adanya. Secara saya belajar Ilmu Komunikasi jadi paham betul bahwa jika suatu ide sering terekspos, orang-orang akan menerimanya sebagai suatu kebenaran. Sementara keduanya: yang muslimah maupun yang berpakaian terbuka; I have to say, tidak ada yang lebih baik dari keduanya.

Kembali ke judul post ini, kadang saya merasa minder dengan diri sendiri. Dulu, saya berharap blog sederhana ini bisa jadi inspirasi and a little light for people who is looking for an answer. Akhirnya, blog ini membawa saya menjadi the Inspiring Muslimah saat World Muslimah Award. 

Tapi sekarang, semakin hari saya semakin nyaman menjadi invisible. Saya ingin semakin tidak terlihat. Kadang saya berpikir untuk berhenti menulis atas nama pribadi karena tidak siap dengan respon orang yang tidak dapat dikontrol. Tapi lebih dari itu, kadang saya berpikir seribu kali untuk mem-publish suatu tulisan/foto hanya karena saya tidak ingin ‘mengotori’ dunia yang sudah riuh ini. Lebih baik saya simpan sendiri, saya renungkan sendiri. Pikiran itu terus menghantui saya.  

Pagi ini, saya belum terhindar sepenuhnya dari aliran kabar (atau komen orang) yang negatif. Kalau biasanya bangun tidur ku terus buka Facebook (demi mengecek siapa yang berulangtahun hari ini), saya membuka Line – dan ternyata sama parahnya!!!!! Susah payah saya harus mengembalikan mood yang jatuh karena para remaja penggila Line ini, meninggalkan komentar di berbagai post yang.....duh, pokoknya memprihatinkan deh. 

Dear readers, kalau kamu masih percaya pada Tuhan dan segala karunianya, bahkan sedikiiit saja, yuk sama-sama mempertimbangkan ulang saat kamu meng-klik ‘post’ – dan juga ‘like’, ‘comment’, atau ‘share’. Nanti di suatu hari nanti, saat mulut dikunci, masihkah kita bisa meyakinkan Tuhan bahwa apa yang pernah kita post bisa membawa kita ke surga? Atau justru karena post-post itulah, kita terpaksa harus mendekam di neraka?

Renungkan.

Lots of love,
Prima

Sunday, May 1, 2016

Zumba Ternyata Tidak Bikin Kurus!

Dua bulan terakhir ini, saya lagi senang zumba. Sebenarnya, tante dan teman sekamar getol banget ngajakin saya yoga. Tapi saya sudah takut duluan sama gerakannya yang lemah gemulai, kayaknya saya sama sekali engga cocok deh. Udah gitu saya orangnya kan pelor (nempel langsung molor) ya, bukannya pendinginan/meditasi, nanti yang ada saya malah terlelap. Zzzzz. 

Saya justru tergoda untuk ambil membership fitness di gym tempat teman sekamar saya melakukan yoga. Biasalah, gym yang banyak cowok kekarnya gitu. Kelebihannya adalah karena dekat kampus, masih banyak mahasiswi yang nimbrung dan harganya sangat terjangkau. 

Sepulang dari lihat-lihat gym dan membaca jadwal, saya malah bukannya daftar jadi member, tapi datang ke kelas zumba. Kesambet setan kayaknya memang. Soalnya saya tuh terakhir kali ikut kelas aerobik dll itu waktu semester 3 kuliah S1!!! Jadi sudah lebih dari 5 tahun yang lalu (jangan tanya tepatnya berapa tahun, pokoknya jangan!).

Mungkin keinginan ikut kelas zumba juga karena dikompori oleh teman-teman sekelas: Nene, Putri, dan Dias. Tapi malah sampai sekarang kami belum pernah zumba bareng. Mereka sering cerita kalau zumba itu olahraga yang menyenangkan karena gerakannya tidak sesulit aerobik dan lagu-lagunya selalu update. Terus saya search deh di YouTube, dan malah nemu grup dance satu ini:

Kalau dilihat-lihat gerakannya mudah ya? HAHAHAHAHAHAHA itu kan sesudah mereka latihan berbulan-bulan, sist! Baru sekali-dua kali terus memang dari sononya badan engga lentur (kayak saya), ya mimpi aja. But long story short, saya mencoba datang kelas zumba and I never regret it.

‘Sedihnya’, tepat dua bulan kemudian, saya menemukan berat badan saya tidak bergeser ke kiri sedikitpun – barang 1 kilo pun! Why so? Menurut saya, ini beberapa penyebabnya:

1.    Berapa Lama Kamu Melakukan Zumba?
Yaelah, baru dua bulan ini udah ribet pingin turun sepuluh kilo. Saya sadar kok, ada kenaikan berat badan yang konsisten sejak wisuda S1 awal 2012 yang lalu. Kalau dirata-rata, naik satu kilo tiap tahunnya lumayan wajar lah. Cuma kan saya belum hamil yak, ntar kalau hamil mungkin jadi kayak paus deh. Hiks. Cuma kembali lagi, to be fair, kalau mau turun berat badan dengan serius seharusnya melakukan work out minimal 90-100 hari deh. Baru bisa dilihat perbedaannya. 

2.    Berapa Kali Kamu Zumba dalam Seminggu?
Idealnya nih, kita melakukan work out selama 30 menit sebanyak 3-5 kali seminggu. Tujuannya engga hanya untuk menurunkan berat badan, tapi juga untuk kesehatan tubuh secara umum.  Jadi, kalau kamu cuma melakukan zumba satu kali seminggu, dan di hari lain tidak melakukan gerak apapun, ya jangan harap turun berat badan. Gerak disini engga harus olahraga berat lho, tapi kalau kamu membiasakan naik-turun tangga, jogging di pagi hari, atau pakai skipping rope; sebenarnya sudah bisa dihitung sebagai work out. Meski kemudian, waktu olahraga khusus tetap dibutuhkan. 

3.    Bagaimana Pola Makanmu?
To be honest, saya sempat kena vertigo beberapa hari yang lalu karena sedang mengikuti program diet. Program ini mengharuskan saya mengatur asupan makanan dan juga minum teh pelangsing. Ditambah zumba dua kali seminggu, dokter bilang ‘bye!’ Agar bisa membakar lemak dan memperbaiki jaringan otot yang rusak karena olahraga, tubuh membutuhkan asupan protein yang berkualitas. Kalau kamu tidak mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan, kamu tidak akan turun berat badan dan malah sakit. Kalau sudah sakit, ujung-ujungnya kamu harus makan banyak untuk pemulihan. That’s why, memperbaiki pola makan itu harus. Biasanya nih, kebanyakan orang menyiksa diri dengan berolahraga saat perut kosong. Supaya makin kurus, mereka justru tidak makan apa-apa sesudah olahraga. Konsumsi makanan kecil seperti pisang, apel, atau susu low-fat; satu jam sebelum dan sesudah latihan bisa membantu mengurangi nafsu makan yang melonjak karena lapar.

Sebenarnya masih banyak lagi hal-hal yang berpengaruh pada penurunan berat badan, seperti stres, pola istirahat, dan kondisi tubuh seseorang. Tapi untuk zumba sendiri, mungkin kamu akan bertanya, ‘terus kamu ngapain zumba, Prim?’

Saya pernah bercanda kepada seorang teman di kelas zumba, ‘kalau saya engga zumba, berat saya bisa jadi 70 kilo mbak!’ JANGAN TANYA BERAT SAYA SEKARANG BERAPA, PLEASE!!!

Itu bercanda kok. Saya sekarang selalu menanti-nanti waktu zumba karena it makes me feel good about myself. Gerakannya yang seksi dan menggoda (engga usah dibayangin...) membuat saya sadar bahwa this is my body and I love it. Setiap individu, dan setiap olahraga, punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing, tapi justru zumba-lah yang membantu saya menumbuhkan kepercayaan diri. Soalnya nih, zumba itu engga dirancang untuk orang-orang yang –maaf – trepes – justru zumba itu bakalan lebih powerful ketika dilakukan oleh orang-orang yang...bahenol (...seperti saya?) :)))))

Intinya sih, I love doing zumba dan sampai sekarang belum pingin berhenti. And for that, I would thank my beloved instructor, mbak Zeetha yang sudah membuat kelasnya menyenangkan. Orangnya baik banget, pokoknya ikut kelasnya itu nyaman dan ngangenin, hihihi. Videonya mbak Zeetha bisa dilihat dibawah ini nih:  


So, gimana? Apa kamu tertarik untuk mengikuti zumba? ;)

Lots of love,
Prima


***Buat yang tinggal di Jogja dan pingin tahu jadwal kelasnya Mbak Zeetha, bisa kontak ke: 087838294940 atau 085743464040, dan Pin BBM: 5D07EA0D (sssttt, she is also a hiphop dance instructor!) ;))
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...