Thursday, January 28, 2016

Arti Make Up Bagi Saya

Make over by Lesya Rachel. Tungguin vlog-nya ya ;)

Akhir-akhir ini, saya ngerasa sedikit agak centil. Yang biasanya bisa keluar rumah tanpa polesan apapun, sekarang lagi suka coba-coba lipstick dan eyeliner. Ga tanggung-tanggung, dalam tiga bulan terakhir, saya punya empat lipstick dan tiga eyeliner! Suatu 'prestasi' tersendiri yang sebelumnya tidak pernah saya duga.

Dulu, duluuu banget, saya selalu punya pandangan yang namanya perempuan itu ga bisa sempurna: cantik DAN pintar. Pasti hanya salah satu. Naif memang, tapi menurut saya waktu itu, kalau seorang perempuan punya waktu dan effort untuk tampil cantik, seharusnya dia menginvestasikan hal yang sama untuk ilmu dan wawasan. Nah, saya lebih memilih untuk membeli buku instead of make up; dan membaca daripada belajar menggunakan blush on.

Ketika saya lulus S1, nenek saya membelikan seperangkat alat make up karena berpikir bahwa saya akan membutuhkannya saat bekerja. Ternyata, kantor saya adalah studio animasi, which you don't even need to wear shoes or formal clothes to work, so harapan nenek saya pupus begitu saja.

Kemudian, di kelas S2 saya yang beranggotakan 10 orang perempuan (kelas Manajemen Komunikasi), kebanyakan dari teman-teman saya hanya menggunakan lipstick ketika ke kampus. Tadinya, saya semakin merasa, oh I still don't need make up. Lalu semua itu berubah ketika semester kemarin saya diajar oleh seorang dosen perempuan. Beliau pintar, satu kelas saya setuju she is freakin' smart and her point of view is always unique. Saya tidak segan berdebat dengan beliau, karena beliau – dan satu dosen lain yang mengampu mata kuliah ini – really encourage us to. Kampus-kampus di Indonesia butuh lebih banyak dosen seperti mereka.

Tapi (ahahaha, ada tapinya yes), dosen satu ini sedikit 'menyakiti' mata saya. Apalagi, gatau kenapa, saya selalu kebagian duduk tepat berhadapan dengan beliau. She is actually beautiful, kami sepakat beliau mirip Cut Tari; tapi entah kenapa kalau ke kampus itu, kayaknya beliau bangun tidur langsung capcuss. Di suatu perkuliahan, saya pernah whatsapp ke teman-teman sekelas, “girls, ada yang bawa sisir? Tangan gatal nih pingin nyisirin mbak ini.” 

Hal ini sedikit membaik ketika kampus menyelenggarakan seminar. Beliau sebagai salah satu pembicara utama sepertinya meluangkan waktu untuk paling tidak mengikat rambutnya dengan rapi. But still, no make up at all.

Disitulah saya terhenyak. Ternyata, make up itu penting tidak hanya untuk diri sendiri, tapi untuk orang-orang yang hendak kita temui. Penampilan yang rapi dan 'terawat' membuat orang-orang yang kita temui merasa dihargai. Sebagai seorang mahasiswa, ketika saya melihat dosen perempuan lain yang selalu tampil chic saat mengajar, saya merasa bersemangat. Terlebih karena didukung dengan wawasan beliau yang memang luar biasa.

Mungkin karena itu, saya jadi bertanya-tanya, gimana perasaan orang yang ketemu dengan saya yang tanpa polesan sama sekali? InsyaAllah saya cukup rapi (#pede), meski saya harus mengakui bahwa saya juga masih sering mengenakan pakaian pertama yang saya lihat ketika membuka lemari di pagi hari, kadang bisa tabrak motif saking cueknya. Tapi, ketika saya melihat wajah sendiri di cermin, tanpa dan dengan make up, perasaannya berbeda. Dengan eyeliner dan lipstick, saya merasa lebih baik, saya merasa hari ini akan menjadi a great day, and I like the feeling.

Don't get me wrong, tingkat kepercayaan diri dan pandangan saya tentang perempuan yang harus pintar tidak berubah. Saya bukannya tidak pede tanpa make up – but I feel better with it. Saya tetap Prima yang tidak bisa keluar dari toko buku dengan tangan kosong; dan masih sering keluar toko make up tanpa membeli apa-apa setelah mencoba selusin lipstick. Saya masih merasa sayang menghabiskan waktu untuk menggunakan make up lengkap, dari mulai BB Cream/foundation sampai eye shadow – kecuali ketika datang kondangan. Saya masih ingin diingat sebagai Prima yang berwawasan luas daripada 'sekadar' pintar dandan. 

Saya hanya mencoba untuk lebih menghargai diri sendiri; dan juga orang-orang yang saya temui, yang saya harap diterima oleh mereka dengan baik pula. Perkara mereka bilang saya lebih cantik tanpa atau dengan make up, pendapat kembali ke masing-masing pribadi.

So, what do you think? ;)

Lots of love,
Prima

Panduan Berwisata ke Batu (Bagian Satu)


Sebentar, saya sedikit merasa aneh menulis ini. Kok aneh? Ya pokoknya aneh banget, soalnya yang ada di pikiran saya itu yang namanya piknik, berlibur, atau traveling itu kudu yang jauh.. Lah ini, hometown saya sendiri, kota dimana saya menghabiskan empat setengah tahun pacaran menimba ilmu (ya ga tepat di kota ini juga, tapi geser sedikit..). Menurut saya sih, ga ada yang menarik untuk dituliskan, hahaha. Sayangnya, hasrat ingin refreshing tapi belum bisa ke Sinjapo atau Bangkok membuat saya harus puas dengan ngubek-ubek daerah yang bisa dijangkau tanpa paspor. Yup, I'm gonna talking about Batu!

Saya sendiri sudah sejak awal Desember berencana pulang kampung, apalagi mendengar Irvina mau liburan di Malang/Batu juga, kayaknya seru deh pergi sama dia. Apa daya, tante dan nenek pergi umroh dan baru pulang menjelang akhir tahun, jadi sekalian deh nyelesaiin UAS biar liburannya lebih tenang. Maafkan saya, Pina! Hiks. Oya, dia juga udah nge-blog tentang perjalanannya ke Malang dan Batu, heboh abis.

Perjalanan saya sedikit berbeda dari Pina, soalnya saya gagal merayu adik tersayang untuk ikut ke Batu, terus karena ada halangan, saya ga bisa nginep di Batu. Untungnya, ada teman lain dari Jogja, namanya Ifa, dan jadilah saya bertualang ke Batu dua kali. Seperti ini gambarannya:

Hari pertama: Rabu, 20 Januari 2016
07:00 Berangkat dari rumah, diantar ayah sampai ke Jatim Park 1
08:00 Tiba di Museum Tubuh, beli tiket terusan Museum Tubuh + Batu Secret Zoo
10:20 Keluar dari Museum Tubuh, nunggu shuttle ke Batu Secret Zoo (gratis)
11:00 Masuk Batu Secret Zoo
15:30 Keluar Batu Secret Zoo, istirahat dan sholat
16:00 Masuk Museum Satwa
17:00 Keluar Museum Satwa, naik ojek ke terminal Batu, lanjut angkot ungu
18:00 Sampai di terminal Landungsari, naik ADL (angkot ke arah stasiun Malang Kota Baru)
19:00 Tiba di rumah dengan selamat

Anggaran hari pertama

Hari kedua: Minggu, 24 Januari 2016
08:00 Berangkat dari rumah, ambil motor di persewaan
08:15 Jemput Ifa di Universitas Brawijaya
09:15 Tiba di Labirin Coban Rondo (lho kok cepat? Entahlah...)
10:45 Keluar dari Coban Rondo, menuju Selecta (perjalanan sekitar 40 menit)
12:00 Cuma setengah jam di Selecta, soalnya ramenya masyaAllah! Keluar, makan di daerah Alun-alun
13:00 Masuk Museum Angkut
15:00 Keluar Museum Angkut
15:30 Nongkrong cantik di Ria Djenaka, Beji
16:30 Nge-drop Ifa di Universitas Brawijaya
17:00 Tiba di rumah dengan selamat

Anggaran hari kedua


Sekian dulu deh, buat itinerary dan anggaran-nya, cerita lebih lanjut di bagian dua yaaa~

Friday, January 22, 2016

Hello!

Sama dedek miauw.

How are you, sister? 

I'm doing good, alhamdulillah. Udah seminggu lebih saya di Malang. Tadinya sempat sedikit menyesal karena lusa rencana mau pulang ke Surabaya tapi masih banyak teman yang belum saya temui/tempat saya kunjungi; but then I feel so grateful karena pada beberapa hari ini saya diberi kesempatan belajar oleh Allah. Mungkin saya akan menceritakannya di kemudian hari, mungkin juga tidak (haha). Tapi yang namanya cerita liburan tetap harus dipamerkan dibagikan dong. So just some recap for what happening to me lately, please see below: 

1. I Haven't Got the Opportunity to Go to Australia..
Desember lalu, saya apply Muslim Exchange Program (MEP) yang diadakan oleh Kedutaan Australia. Saya dapat rekomendasi dari IHB, Kutub, dan UWRF; dan juga beberapa dukungan dari seorang dosen Australia National University (thanks, Ross!) dan Women's Melbourne Network (thanks, Susanne!). But I didn't make it. 
Lucunya, saya sudah memperkirakan hal ini karena saya baru saja mendapat dana beasiswa dari Tokyo Foundation dan menang voucher hotel dari #Backpackstory Sejuta + Travelio. Saya sadar saya tidak punya keberuntungan seperti Paman Gober, misalnya. Jadi kalau saya waktu itu lolos ke Australia (paling engga seleksi pertama deh), it will be EMEJIIING. Oya in this case, saya merasa bekerja keras untuk semuanya kok, ya beasiswa, MEP, dan #BackpackstorySejuta - jadi buat saya yang namanya keberuntungan itu lebih kepada opportunity yang bertemu dengan hasil kerja kita. Kalau memang belum rezekinya ke Australia, ya gapapa juga.. Saya punya bahan untuk memperbaiki aplikasi saya, and I'll try again next time!

2. Saya Masih Harus Belajar Bersyukur
Setibanya saya di Malang, tujuan pertama dan utama saya adalah rumah sakit tempat Bude (kakak mama) dirawat karena stroke. Sampai hari ini, saya sudah empat kali kesana, dan menurut saya, saya sih ga banyak 'berguna' untuk Bude, tapi saya bersyukur masih diberi kesempatan untuk mendampingi sepupu tersayang walaupun hanya dua-tiga jam.
Lalu akibat kecapekan, saya terkena batuk-pilek, dan meski kemarin saya sempat kesal karena jadwal liburan jadi berantakan; saya tersadar bahwa saya masih bisa berjalan-jalan. Sedangkan Bude dan sepupu sudah 'stuck' di rumah sakit lebih dari sebulan, huhuhu. Mohon doa untuk kesembuhan Bude saya ya, sister :')

3. It Feels Awkward to Ride the Public Transportation Here in Indonesia
Saya memang punya rumah di Malang, dan adik-adik punya motor (yang kadang bisa saya pinjam), tapi saat ini motor mereka sedang tidak available. Jadi, saya harus membiasakan diri naik angkot dan berjalan kaki dengan jarak lumayan. Bahkan sepulang saya dari Batu Secret Zoo, saya naik angkot! Wow, pengalaman yang luar biasa karena saya ngerasa..... "hey, di luar negeri aja kamu berani naik-turun bis/MRT sampai nyasar, why not in your own hometown?" Tapi saya sekarang jadi punya banyak cerita untuk di-share juga kan, penasaran? Tunggu aja! Hihi.

4. I Got New Strength
Harus saya akui setelah kegagalan MEP dan jadwal liburan yang sedikit kacau karena tubuh ga bisa diajak kompromi, saya sedikit drop dan terpikir untuk menulis hal-hal galau di blog ini. Tapi kemarin saya dapat cerita-cerita lucu dari India (thanks, Mas Danang!), dan ga sengaja nonton Coach Timo Scheunemann melatih sekolah sepak bola-nya. Benar-benar suntikan semangat yang luar biasa! Allah Maha Baik, dan insyaAllah saya akan berusaha untuk menjaga agar mood saya tetap bagus (because that's related with our mental health and what keeps us energized).

5. Project Baru Saya Sangat Challenging
Saya belum bisa cerita banyak (sengaja, biar sister stay tune terus) but no matter how hard it takes, insyaAllah it keeps going. Saya sedang mencoba meluruskan niat, supaya hasilnya juga bisa lebih optimal. Semoga project ini bisa konsisten sepanjang tahun ini (dan tahun-tahun berikutnya).

Sister, there is a day that can be a very bad day. But remember, that day is only ONE day. There will always hope, and new fun thing tomorrow, when you believe!

Have a nice weekend, and see you at the next post!

Lots of love,
Prima
 
 

Monday, January 11, 2016

Ibu Plus Plus

Akhir-akhir ini, saya dibikin geregetan lagi sama tweet-nya Ustadz Felix Siauw. Iya, yang lagi ramai diperbincangkan itu. Dulu, waktu tweet-nya baru keluar, saya sudah memutuskan untuk tidak ambil hati karena tweet-tweet itu – tentang ibu rumah tangga vs ibu bekerja – sudah sangat menyakitkan. Kayaknya, jadi ibu bekerja itu salah besar di mata agama – ralat, mata Ustadz Felix Siauw. Padahal, setahu saya, istri beliau juga salah satu reseller Hijab Alila, jadi tidak murni ibu rumah tangga 100%. 'Ustadzah' Benefiko yang tim dakwah beliau juga aktif mengerjakan ilustrasi. Walaupun beliau bisa berkelit dengan memprioritaskan pekerjaan rumah tangga daripada kegiatannya yang seabreg itu – termasuk diundang kajian ke luar kota – tetap saja buat saya yang bahkan belum jadi ibu, hal itu menyakitkan. Seolah-olah mereka hendak mengatakan, “nih gw aja bisa (jadi ibu rumah tangga), masa loe ga bisa?” Terus ternyata ujung-ujungnya mereka bekerja juga -___- #gagalpaham

Sebelum semakin panjang, saya ingin menggarisbawahi bahwa saya berlindung kepada Allah dari interpretasi yang tidak sejalan dengan hukum-Nya. Saya, dengan status sebagai single, tetap akan bersyukur jika diharuskan oleh suami untuk di rumah. Meski dengan kemampuan nulis yang saat ini belum seberapa, saya cukup pede untuk bisa punya kegiatan di rumah. Tapi, menurut saya pribadi, setiap manusia punya hak dan kewajiban untuk menciptakan kontribusi untuk ummat. Hal itu sudah dibuktikan oleh ustadzah-ustadzah yang aktif menulis buku dan mengisi kajian dimana-mana kan. Jadi, 'mengekang' perempuan dengan alasan anak-anak itu kurang tepat. Anak-anak juga perlu melihat dan mengalami sendiri bahwa ibunya berjuang untuk ummat, sehingga mereka menjadi pribadi yang mandiri. Mereka termotivasi untuk memaksimalkan umur yang ada untuk kebaikan, dengan cara yang bervariasi – sekolah, mengajar, berdakwah, berjualan, dan sebagainya. Dengan demikian, generasi selanjutnya menjadi lebih tangguh.

Itu menurut saya.

Untuk menyeimbangkan 'kritik' saya terhadap Ustadz Felix Siauw, saya juga sangat tidak setuju jika ada perempuan yang bekerja hanya untuk meningkatkan bargaining position. Biasanya, biasanya nih sister, perempuan yang mencari uang dengan berpikir, “nanti kalau ada apa-apa sama suami (di-PHK, selingkuh, dll – naudzubillah), saya ga ada pegangan dong” - itulah yang akan terjadi. *getok getok meja

Kalau dari awal pikirannya sudah negatif, insyaAllah memang akhirnya negatif. Tau ga, kalau pikiran “duh besok makan apa ya?” itu amat sangat menghina Allah. Kalau kita percaya bahwa akan selalu ada rezeki dan menjaga khusnudzan kepada Allah, insyaAllah hasilnya akan jauuuuuh lebih positif.

Duh prim, kamu plin-plan banget sih, jadi sebenarnya kamu ngedukung perempuan bekerja atau engga sih? Iya, saya dukung, dengan alasan-alasan yang syar'i. Untuk menambah wawasan sister, baca lagi deh post saya tentang alasan istri bekerja disini. Bekerja untuk Allah, bekerja untuk kebaikan bersama, bukan untuk nunjukin ke suami, “ini lho gw kerja dan gw bisa beli sofa baru, loe bisa beliin apa?” Bukan, sama sekali bukan.

Oya, saya juga ga mengharuskan semua ibu bekerja lho. Kalau ada ibu-ibu yang nyaman dengan keadaan sekarang, saya juga dukung banget kok. Terutama jika anak-anak masih kecil dan keluarga tidak dalam keadaan kepepet banget, ya prioritaskan urusan rumah. Apalagi kalau ternyata ketika anda bekerja malah semuanya makin ribet – misalnya mulai menitipkan anak ke mertua/babysitter; atau gaji yang menurut anda ga sepadan dengan kerja keras dan juga lebih kecil daripada bulanan yang dikasih oleh suami; silahkan dipikirkan lagi, apa yang perlu anda 'kejar' dalam hidup?

Tentu saja jikalau anda tetap ingin punya babysitter walaupun anda ibu rumah tangga, itu juga sepenuhnya hak anda. Siapa tahu ada yang merasa babysitter dengan segala pendidikannya bisa lebih telaten dalam mengajari anak, dan anda bisa mencontek tips itu untuk diterapkan selanjutnya; bukankah berbagi rezeki dengan orang yang membutuhkan juga baik?

**

Suatu hari, seorang ibu yang menjabat sebagai salah satu pimpinan sebuah perusahaan memberi gambaran, ada dua orang ibu:

Ibu A: pekerjaannya hanya mengantar-jemput anaknya yang sudah SMA, rumah diurusi oleh asisten rumah tangga, seharian di rumah paling banter nge-gym, terus main handphone, atau keluar rumah untuk arisan. Anaknya pulang sekolah, ada guru les, terus ibu dan anak ngobrol sambil makan malam, kelar.

Ibu B: sembari mengantar anaknya yang sama-sama sudah SMA ke sekolah, ibu ini berangkat ke kantor. Rumahnya diurusi oleh asisten rumah tangga juga deh. Anaknya pulang sekolah sendiri dengan angkutan umum, lalu ke bimbel, dan pulang dari bimbel dijemput oleh sang ibu. Ibu dan anak ngobrol sambil makan malam, kelar.

Gimana menurut sister? Mana yang 'lebih terlihat baik' di mata sister? Dengan keadaan kedua ibu sama-sama hanya punya waktu untuk berinteraksi dengan sang anak di malam hari. Mungkin akan ada yang menyanggah, “yah si Ibu B kan udah capek pas pulang dari kantor, mana bisa ngobrol? Terus gimana kalau ibunya lembur?”

See? Saya ga akan pernah bisa 'menyetir' pemikiran sister tentang yang mana yang lebih baik, karena kita semua berangkat dari latar belakang yang berbeda, memiliki ibu yang mengajarkan nilai-nilai yang berbeda, dan kitapun tumbuh dewasa dengan mengambil sikap yang berbeda-beda pula. Tapi satu hal yang pasti sama: setiap individu punya waktu 24 jam sehari, dan pilihan untuk menggunakan 24 jam itu kembali kepada masing-masing. Iya, jadi ibu itu pahalanya luar biasa dan bisa masuk surga dari pintu mana saja yang ia kehendaki. Tapi, kalau memang sanggup dan keadaan mendukung untuk menjadi ibu plus plus, yakin kesempatan mengumpulkan amal jariyah lebih banyak ini ga mau diambil?

You decide.

To all of the GREAT mothers - no matter what you do,
Prima

Friday, January 8, 2016

Sleep Less, Can I?

Hari pertama di bulan Januari kemarin (yang ternyata tak terasa sudah seminggu yang lalu), saya cuma santai-santai di rumah. Niatnya jogging malah 'olahraga' dengan nyapu-ngepel rumah yang cukup menghasilkan keringat. After then, saya buka laptop dan menimbun karya (#halah) untuk setahun kedepan. Busyet, engga segitunya juga, tapi ada beberapa ide yang sedang saya rancang. Sementara UAS tinggal 1 biji, libur panjang di depan mata (dan tesis sesudahnya), belum dapat pekerjaan (huhu), I decided that this year will be another hard work year. Saya bermaksud untuk mengerahkan segala cara untuk 'mencuri start' karena yang ada di benak saya sesudah lulus Master, masih bekerja untuk orang.

Bohong kalau saya ga kepingin punya bisnis sendiri, tapi berhubung saya sudah pernah berbisnis – dan bukannya trauma, lebih tepatnya saya belum ngerasa 'klik' sama peluang bisnis apapun. I believe that I am actually capable, and there are million opportunities out there, but it's just I haven't find one that really moves me. Berasa kayak jodoh ga sih, hahahaha.

Anyway, lagi pada rame ngomongin resolusi yes? Hmmm, seperti biasa, saya udah sadar diri. Yang namanya resolusi itu biasanya cuma bertahan paling lama seminggu, lol. Sayapun memang dari sononya udah banyak rencana, namanya juga Prima gitu lho.

Cuma ada satu hal yang benar-benar saya camkan sama diri sendiri, sesuatu yang bertahun-tahun saya usahakan tapi masih gagal maning.

I want to sleep less.

Yes, you read it right. Kalau orang lain pingin bisa tidur, saya pingin mengurangi waktu tidur saya. Saya sendiri suka ngerasa bersalah kalau menghitung berapa jam saya bisa tidur dalam sehari. Biasanya nih, saya tidur jam sembilan malam paling lambat, lalu bangun jam setengah empat, dan – ini dia – seringnya tidur lagi di pagi hari. Kadang habis subuh; atau kadang habis subuh kerja di depan laptop, terus tidur lagi dari habis dhuha sampai menjelang dzuhur. Jadi kalau dirata-rata, saya bisa tidur 7-8 jam sehari. Iya, buat ukuran orang se-'sibuk' saya, saya bisa tidur sebanyak itu.

Saya pernah baca di suatu artikel, semakin bahagia seseorang, semakin sedikit waktu tidur yang ia butuhkan. Jadi, saya ga bahagia dong? Hiks :(

Mungkin juga ini ada hubungannya dengan tidur saya yang bisa dibilang kurang berkualitas. Seperti pernah saya tulis disini, saya selalu mimpi tiap tidur. Beberapa bulan terakhir, bisa dibilang saya jarang mimpi buruk, thanks to Dzikir Sebelum Tidur, tapi tetap saja mimpi. Jadi tidur pun lelah, bangun apalagi.

Mungkin juga ini ada hubungannya dengan kurangnya olahraga, yang berkualitas juga. Jadi saya cukup sering jalan kaki atau jogging, tapi barangkali belum yang sampai 'beneran' gitu. Pe er banget nih.

Kesemuanya itu berujung pada tekanan darah saya yang rendah banget. Sering pusing juga, dan yang paling parah, mudah lapar! Padahal katanya kalau insomnia bisa bikin kegemukan, nah kalau saya kebalikannya.

Makanya, tahun ini, saya mau sedikit memaksakan diri untuk tidak tidur di pagi hari. Kalaupun tidur siang sesudah sholat dzuhur, mau pasang alarm dan tiga puluh menit harus cukup.

Atau ada satu solusi lain, ada yang mau kasih saya pekerjaan part-time, 3-4jam/hari? Dijamin hal ini akan sangat membantu untuk memperbaiki jam tidur saya yang berantakan. Hehe.

In desperate of looking for a job,
Prima

Monday, January 4, 2016

New Year, New Project

First Monday in 2016 and I am still working on the last assignment for this semester. I CAN'T BELIEVE THAT I'M FINALLY GONNA GET THROUGH THIS IN A COUPLE DAYS!!!!! 

Alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah. I feel so grateful for getting a chance to be back to school, and not just a school but one of the best universities in Indonesia. As my gratitude, I am preparing a new project which I have been dreaming for long time. I am still looking for some team members but I have a friend ready to help. So yeah, expect to see me rarely post on blog for some weeks ahead (boo). 

I will try my best to keep posting, but right now I become a committee in an event in Masjid Kampus UGM, and (insyaAllah) I'm gonna start working freelance next week. Yeah, this holiday will be a real 'holiday' for me ;)

Stay tune for more great news from me, and hope you guys have a nice year ahead!

Lots of love,
Prima

Friday, January 1, 2016

Tentang Sakit Gigi dan Melepaskan

Apa kabar hari pertama di tahun 2016 ini?
Ada yang resolusinya pingin kurus tapi malah sepagian goler-goler di tempat tidur? Saya dong. LOL.

Alhamdulillah, allahu akbar, 3 paper UAS sudah saya kumpulkan dan artinya kurang 3 lagi. As I said on my Twitter, I don't hate this-Master-degree-thingy. I just simply hate final test weeks. Apalagi sesudah saya menyadari, yang namanya memberikan usaha yang sama-sama maksimalnya untuk semua tugas itu nearly impossible. Pasti ada satu atau dua tugas yang lebih kita perhatikan daripada yang lain. Entah karena kita memang minatnya disitu, atau karena dosennya killer, atau karena memang waktunya ga cukup aja. Sayangnya, dan pastinya, ga ada dosen yang mau tahu hal itu. So, banyak-banyak berdoa aja deh. Hvft.

Anyway, saya sudah sering share tentang pelajaran hidup yang saya alami, tapi ada dua hal yang setidaknya memberi saya 'wawasan' baru untuk diingat-ingat sepanjang tahun 2016 ini. Pelajaran kedua akan saya post berikutnya, tapi pelajaran pertama adalah: jangan pernah menunda berobat kalau sedang sakit gigi!

Seriously. Karena sekali sakit, sakitnya tuh udah bukan disini aja, tapi bisa dimana-mana #lebay #tapibeneran

Sebelum ini, sebenarnya saya tergolong jarang sakit gigi karena waktu kecil minum susunya kuat banget, makanya sekarang gendut bertulang besar. Nah, awal tahun 2015, saya mulai ngerasa ada yang salah dengan gigi saya. Cenut-cenut ga jelas, lubang juga engga. Akhirnya diputuskan untuk rontgen, dan taraaa...ada dua gigi geraham dewasa yang baru tumbuh. Gigi geraham dewasa ini, memang ga semua orang punya, dan ga semua orang ngerasain masalah. Buat saya, gigi yang sebelah kiri terus tumbuh dan mendesak gigi sebelahnya. Yang sebelah kanan, sampai post ini ditulis, anteng-anteng aja kayak ga tumbuh.

Parahnya, saya waktu itu proses pindah dari Surabaya ke Yogyakarta, ostomastis fasilkes untuk BPJS juga dipindah, dan waktu itu ribet tsaaay. Untung ada teman kuliah yang kerja di BPJS dan sigap membantu (ups...), sehingga pertengahan tahun saya bisa melakukan operasi pencabutan gigi tersebut.

Apakah masalah berhenti disitu? Cencu cidak. Meskipun sudah mengalami dua minggu turun berat badan secara drastis akibat tidak bisa makan makanan yang padat – halah – gigi sebelahnya terlanjur keropos, dan dokter mengatakan, okay harus dicabut juga.

Bandelnya saya, dokter memberi keputusan cabut pada bulan September, dan berhubung saya sosialita ye kaaan, saya terus menunda datang ke rumah sakit. Sewaktu pulang dari UWRF, sakitnya sudah tak tertahan lagi. Itupun saya masih harus menunggu beberapa hari karena tekanan darah saya lumayan rendah, dan cabut gigi tidak bisa dilakukan saat sedang datang bulan. Maka, barulah saya cabut gigi pada tanggal 18 Desember 2015.

Cabut giginya sih bentar, satu jam aja ga nyampe. Tapi sakitnyaaaaa, sampai seminggu berikutnya masih ngilu dan bikin saya jadi maag dan sakit panas. Huhuhuhuhu, mana kok ya saya 'pinter' banget, cabut gigi pas UAS, joss deh rasanya ngerjain UAS sambil megangin pipi sebelah kiri dan marah-marah sepanjang waktu.

But at one night, I had this thought comes to my mind. Sakit gigi, dan cabut gigi, adalah serangkaian proses melepaskan. Kadang, yang dilepaskan itu, kalau disimpan terus-menerus, sakitnya juga bisa lebih hebat. Sebagai contoh, ketika sister (naudzubillah) terjebak dalam suatu hubungan pacaran yang tidak sehat, melepaskannya mungkin tidak semudah itu. Tapi mempertahankannya, bisa jadi memberikan dampak yang lebih-lebih menyakitkan, bahkan mungkin mempengaruhi hidup sister selanjutnya.

Contoh lain, sister ngerasa stuck dalam sebuah pekerjaan yang...gaji pas-pasan, jenjang karier ga ada, perkembangannya pun gitu-gitu aja. Ketika sister resign, sister memang akan mengalami kebimbangan dan jelas tidak punya penghasilan. Tapi siapa tahu, dengan mundur, sister bisa menemukan pekerjaan lain yang lebih baik? Ya, siapa tahu?

Malam itu saya berpikir, apa yang sedang Allah minta saya untuk lepaskan? Ya, saya sadar, ada hal ini dan itu, yang lama-lama menggerogoti kewarasan saya. Sementara saya juga sadar, seharusnya saya bisa melepaskannya. Meski sakit, saya yakin tidak akan sesakit jika saya terus menyimpannya.

Let it go, Prim. Let it go.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...